Senin, 09 Desember 2013

Sistem

Desember.
Aku baru kembali dari Gunung Arjuno. Semalaman kuhabiskan di ketinggian sekian. Tak kucatat, tapi kuingat betul dinginnya pegunungan. Menyakitkan.
Namun begitu hangat ketika pagi mekar.
***

Tapi ada soal lain yang ingin kubincangkan, selain soal kembali ke Surabaya, soal kembali pada suhu bermodus 26 derajat Cecius dalam beberapa minggu terakhir. Ini soal sistem, dan pergumulan dengan idealismeku (yang) sendiri(an).

Aku seringkali tak sepaham dengan suatu sistem. Termasuk sistem pendidikan di Indonesia. Tapi tak akan kubahas banyak-banyak. Kata Andi Hakim Nasution, “Kalau Anda punya musuh besar dan ingin ia tersiksa di dunia, doakanlah dia menjadi Menteri Pendidikan.” Seperti begitu menyiksa, ya? Tuhan, kuatkanlah Menteri Pendidikan kami, Amin.

Meski seringkali tak sepaham dengan sistem, aku tak pernah berontak. Aku diam. Beku di belakang. Dan ini berulang dalam beberapa tahun belakangan. Masalahku, ini seringkali mengganggu. Bagaimana rasanya kau tak bisa memuntahkan isi perutmu? Padahal kau mual sekali, muak sekali.

Aku punya sejuta alasan untuk diam. Karena pernah bicara dan tentu kalah. Karena (rasanya) tak akan ada yang sepaham. Karena aku takut tersisih sendirian. Karena aku tak mau memperpanjang persoalan. Karena aku tak mau buat perkara. Karena bla bla bla. Hingga karena aku pikir, barangkali pendapatku hanya berlaku untukku, bukan untuk yang lain. Maka kalau aku bicara, aku egois. Apalagi jika berontak, maka aku dua kali lipat lebih egois. Jadi, kalau tidak diam, aku hanya mundur dan hilang.

Sejak sering diam, aku tak bisa lagi menemukan perumpaan untuk diriku sendiri. Aku, bertahun-tahun, berdiri di atas sistem yang tak kuhendaki. Aku belum bisa jadi pemberani. Aku bahkan tak bisa bercerita banyak di sini. Semoga Gendis nanti jadi pemberani, ya! Amin.

Kamis, 28 November 2013

Sebenar-benarnya acak.

Hari ini diacak saja.
Toh tidak akan jadi masalah bagi Nusantara. Meski sedang bergemuruh konflik dokter dengan entah siapa di luar sana. 

Baiklah, tak tahan untuk melewatkan cerita. Sebenarnya, aku sedang menolak mengikuti perkara satu ini; dokter berdemo.
Baru kali ini aku lihat dokter seperti ini.
Beberapa hari lalu, Disa bercerita, soal dokter Ayu. Selama ini, melalui Disa aku lihat sedikit pedihnya menjadi seorang dokter. Kalau tak selamat, dokter bersalah. Kalau selamat, maka THANKS GOD! Meski hidup-mati dan segalanya memang ada di jemari Tuhan. Tapi ada yang bikin sebal, coba saja kalau kau lihat ucapan seorang calon dokter, "Bagaimana satu hari tanpa dokternya?" Dipikirnya untuk apa sumpah dokternya kelak, yang akan bergema dari mulutnya sendiri. Bagiku, dokter adalah pekerjaan yang pasti mulia, dengan nurani, bukan dengan dendam.
Aku menolak mengikuti perkara satu ini. Aku diam saja. Diam-diam juga harus berdoa, agar dokter tak sampai bermusuhan dengan masyarakat, and vice versa. Ah, ampuni kami.
***

Minggu ini aku dapat kabar duka, dari kawan SMP. Ia sakit, dan pulang ke rumah Tuhan.
Sudah tiga kawan SMP yang pamit duluan. Maka sesekali aku bertanya, dan harus menjawab sendiri apa yang kutanyakan.

Hidup ini sampai kapan? Tak ada yang tahu akan sepanjang apa nafasmu di bumi. Kalau kata orang Jawa, urip nang dunyo mung mampir ngombe, bahwa hidup di dunia ini hanya untuk mampir minum. Benar juga. Dan soal apakah hidup harus meninggalkan bekas, itu pilihan, pilihan ganda.
Ada bekas baik, juga ada yang tak baik. Sering aku mau menggaris yang baik, tapi rasanya belum bisa. Belum rampung. Memang hidupku belum tentu rampung malam ini.
Soal bekas baik, mungkin kucing akan bertanya, "Mau sebaik apa, Mbak Setya?"
Barangkali bisa kujawab, "Sebaik aku tak lagi membenci engkau dan kaummu, Cing." Haha. 
*Aku baru mengubah sudut pandang soal kucing, yang mungkin suatu hari saja kuceritakan.*
***

Halo, masih terjaga?
Aku benar-benar acak. Acak sampai urutan cerita. Maka cukup saja bagian ini, ya?
Kalau Gendis nanti baca, intinya hanya; aku menulis untuk Gendis dan perkara-perkaranya. Perkara sebelum Gendis dan berjuta Gendis lainnya mampu membaca. Untuk Gendis, menggaris bekas adalah menulis.

Senin, 04 November 2013

Kau pasti akan berjumpa mentari.

Kawanku sedang patah hati. Maka aku pun mau mengakui soal aku pernah patah hati.
***

Hampir setahun. Setelah lebih dari dua tahun yang terasa singkat.
Kau pasti bingung apa yang kubicarakan pada kalimat pertama dan kedua.
Begini;

Di Juli 2010, aku tenggelam pada pria sederhana, yang biasanya lakukan apa saja supaya aku tertawa. Bahkan terbahak-bahak. Seringkali terbahak-bahak, sampai banjir air mata. Bagaimana bisa tak suka? Tentu sulit. Maka meski harus menyambung-nyambung rindu dari Surabaya hingga Jakarta, status berpacaran tetap ingin digenggam, erat-erat.

Kalau kau pernah tahu rasanya jatuh cinta, mungkin tidak sulit memahami bahwa aku tenggelam. Begitu saja tenggelam. Setiap hari, meski terpisah sekitar delapan ratus kilometer, rasanya berwarna. Apalagi kalau ada kesempatan bertemu, dunia sejuta kali lebih berwarna! Tapi yang indah tak selalu lama-lama. Begitu juga kata Ibu, bahwa yang indah tak selalu lama-lama, karena di setiap senang, ada sedih yang ikut antri. Sederhana saja; aku kehujanan di November 2012. Kehujanan air mata.

Desember 2012, aku kena kemarau. Kering, tidak bisa lagi berlinang air mata. Tepatnya, tidak boleh lagi. Aku belajar lupa. Lupa bahwa ada perbincangan di telepon setiap pagi. Lupa bahwa sebelumnya, tawaku hanya bergantung pada pria-sederhana-yang-biasanya-lakukan-apa-saja-supaya-aku-tertawa itu. Lupa bahwa hampir seribu hari sebelumnya aku menimbun terlalu banyak senang, menyimpannya dalam-dalam, mengharapkannya dalam-dalam.

Masih di Desember 2012, aku kebanjiran lagi. Ada yang kulupa. Aku lupa berterima kasih pada Tuhan. Aku lupa bahwa aku teramat sombong. Hampir seribu hari terakhir dari Desember 2012, aku lupa bertemu Tuhan di setiap pagi, siang, juga malam. Maka sejak hari yang juga kulupa itu, aku kembali pada Tuhan, merindukanNya di setiap pagi sampai malam. Bertanya kepadaNya bagaimana kembali ke titik nol. Bercerita kepadaNya bagaimana sakitnya kembali ke titik nol. 

Seketika berubah. Seketika semua berubah. Hujan dan kemarau kemudian hilang. Hilang pelan-pelan mulai Desember 2012. Aku kembali pada Tuhan. Kembali pada keluarga dan teman-teman. Aku ubah gaya rambut, aku ubah gaya berpakaian, aku ubah hampir segalanya! Aku mulai diet; hilangkan empat kilogram, tiga kilogram,  dan seterusnya. Aku belajar makan sayuran, yang sebelumnya tak bisa kulakukan. Aku berolahraga. Berlari, yoga, dan lainnya. Aku tinggalkan yang tak sehat, pelan-pelan.

Halo, November. Tak mudah menjalani setahun ini. Setahun untuk bertemu November kembali. Aku kehilangan kakek di Maret 2013, beliau menyusul nenek ke rumah Tuhan. Aku bersenang-senang di Bandung pada Juli 2013. Aku berlari lebih giat mulai September 2013. Kadang aku berlebihan soal pencapaian berolahraga; karena pesona Maggie Greene di The Walking Dead dan Katniss Everdeen di The Hunger Games. Aku resmi menjadi dua puluh satu tahun di Oktober 2013. Aku jadi menikmati segalanya. Aku tak lagi belajar lupa. Kadang aku rapikan ingatan, kupelajari baik-baik. Kalau tiba waktunya, aku akan diuji kembali, maka aku tak seharusnya lupa pelajaran sebelumnya.
***

Your broken heart isn't that bad. Kau pasti akan lalui badai. Kau juga pasti berjumpa mentari. Tenanglah, tetap bersama Tuhan, dan atom-atom positifnya. Belajarlah.




Jangan lupa senyum, ya.
Kau juga akan berjumpa mentari.

dalam rindu kepada Bandung

Halo, November.
Menjadikan perkara Gendis sebagai buku harian adalah tidak mudah. Menulis setiap pikiran juga tidak mudah. Tapi sesekali, bercerita itu perlu.

Banyak yang terlewat. Soal penembakan polisi, dinasti politik, televisi sampah, sampai negeri ini kehabisan buku nikah (atau surat nikah, entahlah).
Ada yang belum terlewat; rindu.

Aku merindukan Bandung sejak beberapa minggu lalu. Merindu sampai menusuk-nusuk, ke memori paling dalam. Soal bagaimana hujan turun di Tikukur, bagaimana Lembang terlihat begitu jauh. Kabut, layang-layang, langit gerimis, dan senja kemerahan. Bandung tak pernah tak indah kala itu.

Nah, sewaktu tinggal di Tikukur, aku biasa menikmati sore di ujung dapur. Di sudut itu aku bisa lihat Lembang, di bawah langit senja dengan layang-layang. Sesekali gerimis merintik, kadang juga hujan begitu deras. Usai itu, kalau langit belum gelap, maka mentari seperti membelah, meminta jalan untuknya bersinar lagi. Kadang diijinkan, kadang juga tidak.

Aku juga rindu berjalan kaki. Untuk mengobatinya, mudah saja; berjalan kaki dengan rute kos-kampus-kos. Tapi berbeda. Tak ada gerimis, tak ada hujan deras. Terik dan menyengat. Tidak sejuk sama sekali. Tentu begini Surabaya. Tapi kemudian aku bertanya; aku rindu Bandung atau hujannya?




Surabaya, 4 November 2013
dalam rindu kepada Bandung.

Minggu, 08 September 2013

Jatuh cinta seperti mulai berenang saja.
Sekali kau coba, bersiaplah.
Dua kali kau coba, belajarlah.
Tiga kali kau coba, belajarlah.
Sejuta kali kau coba, kalau tak jadi perenang andal, kau tamat tenggelam.


Minggu, 01 September 2013

soal Semesta

Semesta punya anak. Punya banyak. Satunya, malam.
Malam seringkali menguntit. Sampai pagi pernah marah.

Kau tahu mengapa?


Karena malam telah membuat pagi dibenci.
Malam adalah kanvas dimana mimpi-mimpi dilukis.
Dan pagi adalah kereta yang melontarkan orang ke dunia nyata.
Siapa yang tak benci realita?


Aku kenal bumi. Satu anak semesta lagi.
Katanya bumi tak benci realita. Bumi mengikuti bentuk.
Ditumpangi pagi dan malam, dan senja emas kadang-kadang.
Kadang bumi dipeluk api, merah sekali, merah sampai menyisa abu-abu.
Kadang lagi bumi diguyur lautan.
Tapi bumi bisu. Realitanya tak pernah hangat.
Ia tak benci realita, ya tidak?


Entah karena ia memang tak benci, atau karena sudah terlanjur muak.
Dua perasaan yang digariskan untuk saling menyerupai. Mirip.
Mengingatkanku pada planet dan bintang.
Bermiliar anak semesta lainnya,
yang masing-masing menyimpan rahasia.
Kadang aku bertanya-tanya,
rahasia apa yang tersembunyi di balik pijaran bola apinya.


Benar juga katamu. Bumi mungkin muak.
Lelah dia membisu, dan hanya mungkin berputar.
Hanya berputar, tidak pernah lebih.
Bola api. Pernah kau lihat?
Aku hendak ceritakan kepadamu, rahasia semesta yang kutahu, 
yang pada suatu siang, semesta membisik di Pulau Jawa. 


Ah, aku jadi bergidik membayangkannya;
hanya dengan berputar, ia telah menghidupi ratusan triliun makhluk hidup.
Kurasa kita tak pernah tahu,
apa akibat dari satu gerak kecil yg kita lakukan, ya?
Tentu, bola api itulah yang menyapamu tiap malam 
saat kau menoleh ke luar jendelamu.
Mungkin ia juga yang membisikkan rahasia itu padamu.
Bagikanlah padaku, rahasia itu.


Tanyamu pernah kutuliskan. Sejak kudapati yang kupikir rahasia itu, sejak semesta membisik di Pulau Jawa, aku menuliskan surat untuk kesayanganku. Untuk anak bumi berikutnya, untuk keturunanku, keturunanmu, juga anjing dan cempaka.
Kata Pramoedya, tiap-tiap manusia berasal dari satu keturunan, maka antara satu dan lainnya adalah saudara. Pun dengan anjing dan cempaka, aku bersaudara.
Maka suratku boleh kau baca, tak cuma buat Gendisku, begini ceritanya...






bersama Disa Saraswati;
Surabaya, 1 September 2013

Minggu, 25 Agustus 2013

Aku tak melahirkan ranting dan dedaunan,
tanpa alasan.

"Tahu kau yang habiskan air mataku?"


"Tentu."

Kau lelah, ya? Kau seringkali lelah. Kau tak berhenti.
Bulan selalu menyaksi, bahwa kau terus berputar.
Tetap berputar, meski mentari sembunyi, meski laut surut.
Aku tak paham rasanya jadi engkau.
Aku hanya tahu kau lelah.
Kau lelah menangis, ya? Kadang kau terbakar. Lalu harus padam dengan air matamu pula.
Aku tak bisa mengutuk, karena seringkali aku menjadi sama.
Bisakah kau memaafkanku?



Denpasar, 25 Agustus 2013

Sabtu, 24 Agustus 2013

Isn't all in the past, little sister? And what's in the past can never be repeated.
- Pramoedya Ananta Toer in It's Not An All Night Fair

Rabu, 31 Juli 2013

gara-gara hati

Pria itu menangis tak karuan. Seragam yang tadinya rapi jadi kumal berantakan. Kumal oleh air mata dan cairan infus yang dikoyaknya. Ia tak terima. Tak terima kalau istrinya tak dapat donor hati.

“Kalian ini juga perlu donor hati. Kalian nggak punya hati lihat kondisi istri saya. Ambil hati saya sekalian!” katanya tak karuan. Tak karuan seperti tangisnya di muka tim medis.

Kecewanya bukan tak beralasan. Sang istri harusnya mendapat donor hati sore nanti. Tapi rumah sakit membatalkan. Katanya, segerombolan pencuri mengambil semua persediaan hati. Tidak hanya di rumah sakit, dan tak hanya penderita gagal fungsi hati, banyak orang di kota yang kehilangan hati.

Di jalan utama, seorang wanita muda sedang memaki bocah kecil penjual koran.
“Sialan lu, kampret! Gua nggak mau beli koran, lu masih deket-deket, gua buru-buru ada meeting, kampret!
Persetanlah mau pencuri hati, hati hilang, persetanlah!
Kampret!” umpatnya sekali lagi.

“Dasar tante nggak punya hati! Pelacur elit!” balas si bocah yang hatinya ketinggalan di pintu gerbang sekolah. Setelah bertahun-tahun ketinggalan, bukannya kembali, hatinya malah dikoyak mucikari, sesekali dititipkan ke markas besar jaringan pengamen tingkat nasional. Maka kalau tidak melacur, bocah belasan tahun itu pasti mengamen sambil melihat-lihat hatinya, supaya tak termakan kucing di markas besar jaringan pengamen tingkat nasional. Baru belakangan ini dia menjual koran, baru setelah berbulan-bulan menstruasinya tak kunjung datang.

Sementara di kota tetangga, rumah sakit diberitakan penuh akan pasien. Para dokter sudah tidak tidur selama seminggu. Banyak gadis yang mendadak menjadi pasien, pasien akut.

“Kamu juga kehilangan hati?”

“Iya, Dok.”

“Bagaimana gejala awalnya?”

“Dada saya sering sakit, Dok. Tadi pagi sewaktu mau mandi, ada jahitan di dada saya, rasanya ada yang kosong, Dok.”

“Hasil pemeriksaan menunjukkan kalau hati kamu memang tidak ada, ini saya berikan resep saja, beberapa bulan lagi mungkin sudah kembali ke tempatnya. Jahitan di dada itu biarkan saja, nanti kalau sudah kembali baru kita benahi, ya.” Si dokter menyobek kertas resep yang sudah ditulisnya.

“Lanjutkan hidup.” Begitu tulisan di resep. Para gadis yang sudah terapi lanjutkan hidup sejak seminggu lalu, sesekali kembali ke rumah sakit untuk kontrol rutin. Tapi sayang, semuanya belum benar-benar selesai. Mungkin memang benar kata si dokter, setelah minimal berbulan-bulan hati itu baru bisa kembali.

Lain lagi di kantor polisi. Tak hanya gadis, kebanyakan pria muda juga membuat laporan. Laporan pencurian hati.

“Dicurinya di mana?”

“Di restoran sebelah, Pak.”

“Bisa jelaskan ciri-ciri pelaku pencurian?”

“Sekilas dia biasa saja, Pak. Ketika dekat baru saya bisa lihat tahi lalat di atas bibir mungilnya, manis sekali.” Katanya mesem-mesem.

“Selain itu? Yang lebih jelas,” gerutu si polisi.

“Saya ingat betul kakinya yang lumayan panjang. Kulitnya bersih dan putih langsat, Pak. Montok sekali. Montok depan dan belakang. Matanya tajam. Persis seperti Angelina Jolie. Bicaranya teduh sekali. Matanya berbinar seperti Lady Diana. Permisi, katanya kepada saya. Senyumnya itu, lho, Pak. AHH!”

“Ah yang itu, sudah sering saya terima laporan macam begitu. Terus gimana kok hati kamu bisa dicuri?”

“Nah sewaktu saya membuka jalan untuk dia lewat, dada saya disentuhnya, Pak. Tahu-tahu tangannya ngambil hati saya. Sudah begitu, saya tidak sadarkan diri. Ketika bangun, saya muntah kupu-kupu banyak sekali. Kata dokter, cacing di perut saya berevolusi jadi kupu-kupu.”

“Standar juga pencuriannya ya. Ya sudah kalau begitu. Saya buatkan laporannya,” si polisi menyudahi.

Ternyata tak hanya di kota, kasus kehilangan hati terjadi di mana-mana. Sampai di seluruh dunia. Konon hati hasil curian itu dibawa ke suatu pulau, dimana hati adalah makanan pokok penduduknya. Namun aparat keamanan dan pemerintahan tidak bisa berbuat banyak. Hati yang tiba-tiba hilang, gagal berfungsi, dan hati-hati yang dicuri lenyap begitu saja, yang dicuri pun lenyap bersama pencurinya, sehingga pria muda yang kecurian lantas menjadi kesakitan. Para pria muda yang dulunya melaporkan ke kantor polisi, beralih jalan ke rumah sakit.
***

“Pesan hati satu, yang manis yang merah muda, yang menggelora.”


Bandung, 31 Juli 2013.

kepada Bumi

Aku bermimpi tentang bumi. Tentang lautan yang tak ada lagi. Atau daratan yang tak ada lagi. Bermimpi tentang bumi. Tentang Jakarta yang tenggelam. Tentang Bali yang tak nampak.
Tentang Soekarno yang hidup lagi. Tentang Soe Hok Gie yang turun gunung. Tentang kejutan dari bumi. Tentang. Tentang. Tentang ke mana semua akan pergi? Ke mana semua sedang pergi?

Bermiliar-miliar manusia menumpang di bumi, di atas permukaan bumi. Mungkin sedang tidur, duduk, berdiri, tidak penting. Aku satunya. Aku satunya yang sedang duduk dan bermimpi.
Aku pernah lihat manusia dicaci. Aku pernah lihat manusia dipukuli. Apalagi anjing. Apalagi ular. Apalagi rerumputan. Tak usah kuceritakan, kau pasti tahu.

Aku pernah lihat Jakarta. Besar sekali. Tinggi sekali. Padat memuakkan.
Aku pernah lihat Pulau Bali. Sebenarnya kurang tepat begitu.
Aku lahir di Pulau Bali. Aku habiskan delapan belas tahun di Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia.
Lalu aku berganti. Berganti rupa. Panjang juga umurku sejak tiga tahun lalu aku tinggalkan Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia sejenak-sejenak.
Ternyata Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia juga berganti rupa. Panjang juga umurnya sejak tiga tahun lalu aku tinggalkan Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia sejenak-sejenak.
Ternyata lagi, Ibukota Jakarta juga berganti rupa. Panjang juga umurnya sejak enam puluh delapan tahun menjanda. Bapakkota Jakarta entah ke mana. Mungkin dibawa kabur Lady of the World Amerika Serikat.

Kau tahu bagaimana rupa Ibukota Jakarta?
Aku tidak benar-benar tahu. Seorang di Geomatika pernah memberitahuku, “Tanah di Jakarta turun sepuluh sentimeter setiap tahun.” Kubayangkan saja, sejak tiga tahun lalu aku tinggalkan Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia sejenak-sejenak, berarti sudah sepanjang penggaris standar anak sekolahanlah Ibukota Jakarta tenggelam.
Tenggelam?!

Kutanya lagi, kau tahu bagaimana rupa Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia? Sejak tiga tahun lalu kutinggalkan sejenak-sejenak, Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia katanya baik-baik saja. Nampaknya pernah disinggahi kerajaan pula. Katanya ada Raja Bali yang damaikan kerusuhan di Lampung. Katanya. Katanya. Sekali lagi, katanya lho ya.
Bukan cuma kerajaan. Pemain sepak bola juga pernah singgah. Barangkali menanam bola bersama kekasihnya. Nanti kalau dia kembali ke Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia sepuluh tahun lagi, banyaklah buah bola yang bisa dipetik.
Konyol juga Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia yang kutinggalkan sejenak-sejenak.

Tentang mimpiku, baru akan aku ceritakan. Sedari tadi itu khayalan, yang kadang datang kadang pergi. Kadang benar, kadang gosip. Kadang tak usah pula diingat-ingat. Kadang harus pula diceritakan. Kadang-kadang saja. Kalau Gendis nanti bertanya, “Kenapa Ayah belum pulang, Bu? Kenapa Ayah harus kerja setiap hari, Bu?”
Maka bisa saja aku jawab, “Gendis, Gendis yang manis, Ibu ceritakan tentang puluhan tahun lalu, dimana banyak manusia tak lagi tahu bagaimana berbahagia. Maka Ibu harus bertemu Ayahmu yang konyol, sekonyol Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia, yang janjikan bahagia dengan cara apa saja. Gendis tahu bagaimana Ayah cari bahagia di luar sana? Nanti saja Gendis tahunya. Nanti Ayah pulang dengan lembaran, dengan kartu ajaib, yang sebenarnya dengan itu Gendis mau apa saja pasti bisa. Cuma Gendis harus ajukan proposal kepada Ayah dan Ibu. Gendis tidak boleh sembarangan. Gendis tidak bisa sembarangan. Nah, begini ceritanya...”

Atau aku bisa jawab, “Ayah kamu ya cari duit.” Jawaban Ibu yang tak pernah aku mimpikan.

Begitulah kadang Gendis masuk ke mimpiku. Kadang harus mengkhawatirkan yang belum ada. Kadang harus khawatir kalau Gendis tak lagi bisa lihat lautan. Sering khawatir kalau Gendis tak akan bangun di pagi cemerlang. Cemas juga kalau nanti Gendis tak tahu cara berbahagia seperti manusia. Tak tahu bagaimana berbagi keberuntungan pada anak jalanan, yang kadang bikin kasihan karena tak boleh duduk di sekolah, atau kadang bikin sebal karena tak tahu sopan santun dan berlagak preman.

Di mimpi yang lain, aku berdiri di atas daratan. Berdesak-desakan dengan puluhan mahluk bumi, di atas permukaan seluas tiga kali tiga meter persegi. Ada manusia. Ada manusia culas, ada manusia sedih, ada manusia anjing, ada manusia malaikat. Adakah anjing kesayangan? Adakah bunga cempaka? Rasanya tidak.

Kalau bermiliar-miliar ini terus beranak, jadi beratus miliar, jadi triliun, jadi kuadriliun, sampai jadi desiliun, aku yang satu harus begitu berharga. Kalau aku tidak berharga, aku tak pantas menginjak bumi, pikirku. Bumi kan  sudah begitu sempit untuk desiliun manusia. Belum lagi binatang dan tumbuhannya yang kalau belum punah.
Maka, nanti para motivator akan berkoar-koar tentang semangat hidup, tentang “betapa berharga diri Anda”. Oh, desperation.

Pernah juga aku bermpimpi tentang yang kuat yang bertahan. Tentang manusia yang hilang ditelan malam, kemudian tak pernah kembali. Atau kembali di suatu pagi, di semak-semak dengan lubang peluru di kepala. Pemerintahan sudah muak. Bagi mereka yang dianggap tak berharga, berhadapan dengan peluru negara. Bagi mereka yang renta, yang melebihi enam puluh lima tahun, juga berhadapan dengan peluru negara. Bagi mereka yang bermusuhan, yang dikenal namanya karena menyajikan penjara bagi koruptor negara, juga berhadapan dengan peluru negara. Bagi mereka yang dianggap berbeda oleh sebagian mereka, juga berhadapan dengan peluru negara. Maka negara punya triliunan peluru. Karena satu manusia kadang tak cukup habis oleh satu peluru. Maka segala perindustrian negara jadi gelap, gelap memproduksi peluru. Karena hanya dengan menghabisi, manusia bisa berdiri sepantasnya. Manusia yang merasa lebih kuat bisa menjajah bermeter-meter milik manusia yang tak lebih kuat. Dengan begitu, bumi tak lagi keberatan, tak lagi kepadatan, tenteram, sejahtera, dengan sungai dosa dan lautan jenazah. Juga langit yang selalu gelap di atas kepala.

(1) Those who are dead, are not dead/
    They’re just living in my head/ oooh oooooh//

Mimpi lain juga ada. Tentang manusia robot. Tentang millenium yang harus datang lagi sejak dua ribu dilahirkan. Tapi aku terlalu lelah menceritakan yang ini. Kawanku, kau pasti tahu. Pasti tahu bagaimana hanya dengan berkedip, yang kau inginkan bisa terjadi. Sakti bin ajaib memukau mengagumkan.

Masih banyak yang lainnya. Tapi jemariku mulai ringkih. Karena pagi semakin siang, dan siang kadang menyebalkan. Harus pakai SPF 30 kalau tak mau terbakar perlahan. Itulah ulahku, juga ulahmu barangkali. Karena kita sama-sama menikmati yang harus telan isi bumi, yang harus tumbuhkan pepohonan, kemudian tebang lagi, kemudian tumbuhkan lagi, kemudian tebang lagi, lalu sekali-sekali terbakar lagi. Lalu mengomel lagi para tetangga negara.

Di akhir, aku ceritakan tentang mimpi yang singkat. Suatu pagi yang mentarinya terik sekali, tak ada manusia, apalagi anjing dan bunga cempaka. Karena semalam langit mengirim sesuatu. Langit lelah memeluk. Langit lelah bercerita pada yang tak mendengarnya. Langit menangis, mengalirkan cairan untuk anak bumi berikutnya, yang entah bagaimana rupanya, yang semoga saja mereka mencintai bumi dan langit seperti mencintai ruh dan napasnya.



Bandung,
di suatu pagi sampai siang cemerlang,
di muka gedung dan pepohonan,
di bawah langit.
31 Juli 2013.


(2) If you ever feel neglected/
    If you think all is lost/
    I’ll be counting up my demons/ yeah/
    Hoping everything’s not lost//



(1) Sepotong syair Coldplay – 42.


(2) Sepotong syair Coldplay – Everything’s Not Lost

Minggu, 07 April 2013

Dia

Dia berulang kali mengais masa lalu. Mengumpulkan satu persatu. Menyusun bagian demi bagian. Juga tanyanya tak pernah berhenti. Mengapa? Bahkan di tahun ketiga, semua gelisah masih sama.

Dia bilang dia gagal. Gagal jadi manusia. Dia gagal menerima bahwa, pada suatu masa, segalanya bagaikan sulap. Abracadabra! Tak ada yang persis sama. Indah dulu tak melulu sama.

Maka ketika tahun berjalan, ruhnya masih enggan berjalan. Matanya tak diam, begitu pun kedua telinga. Sekelilingnya berlari. Berpeluh. Berdarah. Dia? Dia terperangkap di balik abar.

Abarnya adalah tubuhnya. Tubuh yang menolak bahwa dia tak akan tahu kapan selesai masanya. Tubuh yang menolak menjadi air di setiap wadah. Rasanya, dulu, seseorang berkata padanya, bahwa dia adalah air. Ilmunya pun adalah air. Dia tak pernah temukan bukti.

Begitulah di balik abar, dia temukan kantong sampah. Besar. Tinggi. Bertumpuk. Dia mengais bukti. Mengais masa lalu. Mengais sampah.Abracadabra! Sekelilingnya berdarah. Dia penuh sampah. Bau. Kotor. Hitam.

Dikutuknya yang berdarah. Dilekapnya para sampah. Sudah terucap, bahwa ruhnya enggan berjalan. Dia, bahkan tubuh dan ruhnya, tak pernah mengerti mengapa harus mengais yang tak akan didapatnya. Dia tak butuh sampah. Dia harus berdarah. Dia menangis.




Tears stream down your face/ when you lose something you can’t replace//
- Senandung Coldplay

Surabaya, 7 April 2013

Minggu, 24 Maret 2013

Kematian mungkin tak menyakitkan. Kelahiran begitu juga, ya?
Tapi kehidupan, kadang menyakitkan.
Dan atas segala kemarahan, saya mohon maafkan.
Selamat jalan, Pekak. Silahkan berjalan, menyusul Ninik.
Terangkan jalanmu, terangkan bumi dan kami.

Saya mencintai kalian.