Suri kecil tersentak. Rasanya ia baru saja berbaring, menikmati
tidur siangnya di atas tempat tidur seorang tuan putri; tentu cantik, mahal,
dan terbuat dari ribuan busa berkualitas paling tinggi. Suri memang tak pernah
kekurangan. Siapa yang berani membuat Suri menderita? Satu-satunya anak manis dalam
keluarga Tuan Pejabat Royals, yang korupsinya jadi kejahatan paling sempurna
sepanjang dekade.
Suri tersentak sebab ia terbangun di tempat lain, atau bisa
jadi masa yang lain. Suri tak bangun di atas tempat tidur seorang tuan putri. Suri
terbangun di atas genting.
Suri menepuk tangan di muka wajahnya. Memastikan apakah ia
sedang bermimpi. “Bukan mimpi, Suri benar sudah bangun tidur,” gumamnya sambil
melinangkan air mata. “Mamaaaang!” serunya mulai panik. Tentu Mamang tak
menjawab. Tak ada pembantu paling setia bersama Suri. Mamang sedang di istana,
bukan bersama Suri yang baru terbangun di atas genting. Suri hanya sendiri di
atas genting. Hanya ada genting dan... lautan. Dan Suri.
Suri semakin panik. Suri tak bisa berenang. Suri tak boleh sering
berenang oleh Ibu Royals. “Kulitmu tak boleh kena kaporit, Sayang.” Kata Ibu
Royals. Apalagi untuk berenang di laut, maka Ayah Royals juga ikut nyinyir, “Suri
jangan dekat laut, air laut itu karsinogen. Suri tahu karsinogen? Nanti Suri
bisa kena kanker kalau main di air laut. Laut itu tong sampah Ayah. Ke mana
lagi Ayah buang limbah pabrik kita? Masak anak Ayah mau berenang di tong
sampah?” Itulah yang lebih sedih untuk hidup Suri, karena air laut kini jadi
karsinogen, Suri kecil bahkan tak bisa membangun istana dari pasir pantai. Suri
memang punya istana yang sebenarnya. Istana Royals.
Sebab tak bisa berenang, Suri hanya diam. Suri masih bisa
menggunakan kedua mata bulatnya, melihat-lihat sampai ujung yang dapat
dijangkaunya. Suri tak yakin ini lautan, karena ia di atas genting. Mana ada
genting mengapung dengan sangat tenang di atas permukaan laut? Kecuali genting
ini memang atap sebuah rumah. Kecuali lautan ini adalah air bah.
*bersambung