Rabu, 31 Juli 2013

kepada Bumi

Aku bermimpi tentang bumi. Tentang lautan yang tak ada lagi. Atau daratan yang tak ada lagi. Bermimpi tentang bumi. Tentang Jakarta yang tenggelam. Tentang Bali yang tak nampak.
Tentang Soekarno yang hidup lagi. Tentang Soe Hok Gie yang turun gunung. Tentang kejutan dari bumi. Tentang. Tentang. Tentang ke mana semua akan pergi? Ke mana semua sedang pergi?

Bermiliar-miliar manusia menumpang di bumi, di atas permukaan bumi. Mungkin sedang tidur, duduk, berdiri, tidak penting. Aku satunya. Aku satunya yang sedang duduk dan bermimpi.
Aku pernah lihat manusia dicaci. Aku pernah lihat manusia dipukuli. Apalagi anjing. Apalagi ular. Apalagi rerumputan. Tak usah kuceritakan, kau pasti tahu.

Aku pernah lihat Jakarta. Besar sekali. Tinggi sekali. Padat memuakkan.
Aku pernah lihat Pulau Bali. Sebenarnya kurang tepat begitu.
Aku lahir di Pulau Bali. Aku habiskan delapan belas tahun di Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia.
Lalu aku berganti. Berganti rupa. Panjang juga umurku sejak tiga tahun lalu aku tinggalkan Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia sejenak-sejenak.
Ternyata Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia juga berganti rupa. Panjang juga umurnya sejak tiga tahun lalu aku tinggalkan Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia sejenak-sejenak.
Ternyata lagi, Ibukota Jakarta juga berganti rupa. Panjang juga umurnya sejak enam puluh delapan tahun menjanda. Bapakkota Jakarta entah ke mana. Mungkin dibawa kabur Lady of the World Amerika Serikat.

Kau tahu bagaimana rupa Ibukota Jakarta?
Aku tidak benar-benar tahu. Seorang di Geomatika pernah memberitahuku, “Tanah di Jakarta turun sepuluh sentimeter setiap tahun.” Kubayangkan saja, sejak tiga tahun lalu aku tinggalkan Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia sejenak-sejenak, berarti sudah sepanjang penggaris standar anak sekolahanlah Ibukota Jakarta tenggelam.
Tenggelam?!

Kutanya lagi, kau tahu bagaimana rupa Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia? Sejak tiga tahun lalu kutinggalkan sejenak-sejenak, Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia katanya baik-baik saja. Nampaknya pernah disinggahi kerajaan pula. Katanya ada Raja Bali yang damaikan kerusuhan di Lampung. Katanya. Katanya. Sekali lagi, katanya lho ya.
Bukan cuma kerajaan. Pemain sepak bola juga pernah singgah. Barangkali menanam bola bersama kekasihnya. Nanti kalau dia kembali ke Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia sepuluh tahun lagi, banyaklah buah bola yang bisa dipetik.
Konyol juga Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia yang kutinggalkan sejenak-sejenak.

Tentang mimpiku, baru akan aku ceritakan. Sedari tadi itu khayalan, yang kadang datang kadang pergi. Kadang benar, kadang gosip. Kadang tak usah pula diingat-ingat. Kadang harus pula diceritakan. Kadang-kadang saja. Kalau Gendis nanti bertanya, “Kenapa Ayah belum pulang, Bu? Kenapa Ayah harus kerja setiap hari, Bu?”
Maka bisa saja aku jawab, “Gendis, Gendis yang manis, Ibu ceritakan tentang puluhan tahun lalu, dimana banyak manusia tak lagi tahu bagaimana berbahagia. Maka Ibu harus bertemu Ayahmu yang konyol, sekonyol Pulau Bali Dewata Seribu Pura Tujuan Dunia, yang janjikan bahagia dengan cara apa saja. Gendis tahu bagaimana Ayah cari bahagia di luar sana? Nanti saja Gendis tahunya. Nanti Ayah pulang dengan lembaran, dengan kartu ajaib, yang sebenarnya dengan itu Gendis mau apa saja pasti bisa. Cuma Gendis harus ajukan proposal kepada Ayah dan Ibu. Gendis tidak boleh sembarangan. Gendis tidak bisa sembarangan. Nah, begini ceritanya...”

Atau aku bisa jawab, “Ayah kamu ya cari duit.” Jawaban Ibu yang tak pernah aku mimpikan.

Begitulah kadang Gendis masuk ke mimpiku. Kadang harus mengkhawatirkan yang belum ada. Kadang harus khawatir kalau Gendis tak lagi bisa lihat lautan. Sering khawatir kalau Gendis tak akan bangun di pagi cemerlang. Cemas juga kalau nanti Gendis tak tahu cara berbahagia seperti manusia. Tak tahu bagaimana berbagi keberuntungan pada anak jalanan, yang kadang bikin kasihan karena tak boleh duduk di sekolah, atau kadang bikin sebal karena tak tahu sopan santun dan berlagak preman.

Di mimpi yang lain, aku berdiri di atas daratan. Berdesak-desakan dengan puluhan mahluk bumi, di atas permukaan seluas tiga kali tiga meter persegi. Ada manusia. Ada manusia culas, ada manusia sedih, ada manusia anjing, ada manusia malaikat. Adakah anjing kesayangan? Adakah bunga cempaka? Rasanya tidak.

Kalau bermiliar-miliar ini terus beranak, jadi beratus miliar, jadi triliun, jadi kuadriliun, sampai jadi desiliun, aku yang satu harus begitu berharga. Kalau aku tidak berharga, aku tak pantas menginjak bumi, pikirku. Bumi kan  sudah begitu sempit untuk desiliun manusia. Belum lagi binatang dan tumbuhannya yang kalau belum punah.
Maka, nanti para motivator akan berkoar-koar tentang semangat hidup, tentang “betapa berharga diri Anda”. Oh, desperation.

Pernah juga aku bermpimpi tentang yang kuat yang bertahan. Tentang manusia yang hilang ditelan malam, kemudian tak pernah kembali. Atau kembali di suatu pagi, di semak-semak dengan lubang peluru di kepala. Pemerintahan sudah muak. Bagi mereka yang dianggap tak berharga, berhadapan dengan peluru negara. Bagi mereka yang renta, yang melebihi enam puluh lima tahun, juga berhadapan dengan peluru negara. Bagi mereka yang bermusuhan, yang dikenal namanya karena menyajikan penjara bagi koruptor negara, juga berhadapan dengan peluru negara. Bagi mereka yang dianggap berbeda oleh sebagian mereka, juga berhadapan dengan peluru negara. Maka negara punya triliunan peluru. Karena satu manusia kadang tak cukup habis oleh satu peluru. Maka segala perindustrian negara jadi gelap, gelap memproduksi peluru. Karena hanya dengan menghabisi, manusia bisa berdiri sepantasnya. Manusia yang merasa lebih kuat bisa menjajah bermeter-meter milik manusia yang tak lebih kuat. Dengan begitu, bumi tak lagi keberatan, tak lagi kepadatan, tenteram, sejahtera, dengan sungai dosa dan lautan jenazah. Juga langit yang selalu gelap di atas kepala.

(1) Those who are dead, are not dead/
    They’re just living in my head/ oooh oooooh//

Mimpi lain juga ada. Tentang manusia robot. Tentang millenium yang harus datang lagi sejak dua ribu dilahirkan. Tapi aku terlalu lelah menceritakan yang ini. Kawanku, kau pasti tahu. Pasti tahu bagaimana hanya dengan berkedip, yang kau inginkan bisa terjadi. Sakti bin ajaib memukau mengagumkan.

Masih banyak yang lainnya. Tapi jemariku mulai ringkih. Karena pagi semakin siang, dan siang kadang menyebalkan. Harus pakai SPF 30 kalau tak mau terbakar perlahan. Itulah ulahku, juga ulahmu barangkali. Karena kita sama-sama menikmati yang harus telan isi bumi, yang harus tumbuhkan pepohonan, kemudian tebang lagi, kemudian tumbuhkan lagi, kemudian tebang lagi, lalu sekali-sekali terbakar lagi. Lalu mengomel lagi para tetangga negara.

Di akhir, aku ceritakan tentang mimpi yang singkat. Suatu pagi yang mentarinya terik sekali, tak ada manusia, apalagi anjing dan bunga cempaka. Karena semalam langit mengirim sesuatu. Langit lelah memeluk. Langit lelah bercerita pada yang tak mendengarnya. Langit menangis, mengalirkan cairan untuk anak bumi berikutnya, yang entah bagaimana rupanya, yang semoga saja mereka mencintai bumi dan langit seperti mencintai ruh dan napasnya.



Bandung,
di suatu pagi sampai siang cemerlang,
di muka gedung dan pepohonan,
di bawah langit.
31 Juli 2013.


(2) If you ever feel neglected/
    If you think all is lost/
    I’ll be counting up my demons/ yeah/
    Hoping everything’s not lost//



(1) Sepotong syair Coldplay – 42.


(2) Sepotong syair Coldplay – Everything’s Not Lost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar