“Belajar
yang baik, Nak. Kejar ilmu hingga ke negeri seberang. Lantas kembalilah ke
rumah, ubah hidup kita.” Nasihat seorang ibu melepas anak kebanggaannya.
Tak terhitung berapa ibu di Indonesia yang pernah
ditinggal anak-anaknya demi mengejar ilmu. Gantungkanlah cita-citamu setinggi
langit. Umumnya anak Indonesia mengenal kalimat itu sejak usia kecil. Kalau
cita-cita sudah digantung setinggi langit, bagaimana saya mendapatkannya, Bu
Guru?
Kalau di Indonesia, masalah pendidikan kadang-kadang
jadi masalah yang sangat pribadi. Kalau kamu ingin jadi dokter tapi tak mampu
bertahan hidup dengan biaya pendidikan seorang dokter, ya deritamu. Tak peduli
kamu jenius atau tidak, berkualitas atau tidak. Kalau tidak beruntung mendapatkan
beasiswa sebagai satu-satunya penyelamat, tamat sudah cita-cita menjadi dokter.
Akhirnya, cita-cita di langit jatuh ringan dan dikubur dalam-dalam.
Lain lagi dengan yang satu ini. “Sekolah tidak
penting. Yang penting buka usaha, untung besar, sudah.” Kalau sudah beruntung
besar menjadi pengusaha, sudahlah cukup hidup ini. Cita-cita keluar dari daftar
kehidupan, kecuali memang cita-citanya menjadi pengusaha sukses. Ini
mengingatkan saya pada malam sekitar dua tahun yang lalu. Seorang pedagang roti
bakar pinggir jalan pernah bercerita pada saya. “Ah, saya males sekolah. Ngapain
sekolah, biar kakak saya saja yang TNI. Saya dagang begini sajalah,” tuturnya
tetap sibuk dengan roti bakar. Sekilas saya bercakap dengannya, pria muda
dengan gerobak roti ukuran kecil itu belum hidup dalam standar sejahtera
menurut saya.
Kalau saya lihat, masih ada pribadi lainnya. Mereka
yang sangat gemar belajar, mengagumi indahnya pengetahuan, eksak ataupun
non-eksak. Relatif benar kata Andrea Hirata, semangat dan ilmu dapat menaklukan
apapun. Sarjana tidaklah cukup, kalau bisa sampai profesor. Tentu saja ini di
luar pandangan bahwa ilmu tak hanya didapat dari bangku sekolah, bahwa jadi
kutu buku saja sudah cukup untuk berkenalan dengan ilmu pengetahuan. Ya,
Indonesia masih punya orang-orang seperti ini, kok. Orang-orang yang setengah hidup setengah mati berjuang dalam
bentuk belajar, menyelesaikan skripsi sampai disertasi. Syukurlah.
Profesor, Nasibmu Kini
Ini cerita untuk satu tipe pejuang dalam pendidikan,
profesor. Tidak mudah mendapat gelar profesor. Jangankan profesor, untuk jadi
sarjana saja kadang-kadang tiga perempat nyawa saya -rasanya- hendak keluar
dari tubuh menghadapi ujian, tugas, atau presentasi. Memang kemampuan akademis
saya yang biasa saja. Tapi entah mengapa saya yakin, sepintar-pintarnya calon
sarjana, pasti pernah mengalami hal seperti itu. Intinya, luar biasa para
profesor itu. Sekali lagi, semangat dan ilmu dapat menaklukan apapun.
Dengan semua persepsi itulah mata saya terbelalak
ketika membaca harian Kompas edisi Selasa, 25 Oktober 2011. Di sudut kiri atas halaman
paling depan, judul ini menarik hati saya untuk membacanya. Gaji Profesor Lebih
Rendah dari Guru SD.
Melansir Kompas edisi kali itu, Jan Sopaheluwakan
adalah pakar ilmu kebumian yang 30 tahun lamanya bekerja untuk Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Posisinya adalah profesor riset yang berada dalam
pangkat tertinggi golongan IV/E di LIPI. Jan menempuh pendidikan S-2 dan S-3 di
perguruan tinggi luar negeri. Kini, setiap bulan Jan menerima Rp 5,2 juta
sebagai pengabdi di LIPI. Rupiah itu kita sebut sebagai gaji.
Sementara itu, guru sekolah dasar (SD) di Kabupaten
Serang, mendapatkan gaji Rp 6,5 juta per bulan. Lain lagi dengan guru SD di
Jakarta yang gajinya Rp 8,6 juta per bulan. Keduanya adalah guru dalam golongan
IV/A.
Memang bukan masalah uang. Semakin tinggi tingkat
pendidikan, bukan berarti semakin tinggi penghasilan dalam bentuk uang. Tapi
perhatikan apa yang profesor riset kerjakan di setiap negara, termasuk
Indonesia. Meneliti, mendapatkan penemuan baru. Ini tidak sepele untuk kemajuan
bangsa dan dunia. Sekecil apapun penelitian dan penemuan, tak akan ada lampu
kalau Thomas Alva Edison tidak memulainya dengan meneliti. Di Indonesia, bagi
orang awam seperti saya, mungkin tidak banyak penelitian di Indonesia yang
diketahui. Belum sebombastis hasil riset di Jepang mungkin. Tapi ternyata
banyak hasil riset di Indonesia yang mandeg tak berlanjut atau tak komersil. Lagi-lagi
karena biaya dan peralatan, masih juga ditambah akibat sistem birokrasi.
Gaji juga bisa diartikan sebagai penghargaan atau
balas jasa, atas apa yang seseorang kerjakan untuk mereka yang menggajinya. Sudah
luas begini profesor riset Indonesia mengarungi ilmu, tapi penghargaan terhadapnya
terlihat miris. Bagi saya miris, seakan-akan kita tidak menghargai pendidikan. Jepang,
terlepas dari kemakmurannya yang melampaui Indonesia, berani menggaji profesor
risetnya hingga Rp 600 juta sampai Rp 900 juta per bulan. Jepang menggantungkan
nasib negaranya pada pendidikan. Semakin miris.
Lebih Nyaman Berada di Langit
Kalau sudah begini keadaannya, salahkan
profesor-profesor kita (Indonesia) bekerja di negara lain? Bekerja atas nama
negara lain. Hak hidup seseorang adalah hak masing-masing individu. Kalau
negara lain bisa menghidupinya lebih layak, mengapa tidak? Tentu saja ini di
luar konteks rasa nasionalisme penduduk Indonesia. Ini juga pekerjaan rumah
yang kompleks untuk rakyat Indonesia. Masalah gaji profesor, pendidikan, sampai
pada rasa nasionalisme rakyat Indonesia.
Dulu, penjajah kita sudah mendidik nasionalisme
penduduk Indonesia. Van Deventer, seorang sosialis dan tokoh di balik lahirnya politik
etis (etische politiek) pernah
menulis artikel berjudul Hutang Kehormatan yang dimuat majalah de Gids (1899). Van
Deventer melihat adanya ketidakadilan pemerintah Hindia Belanda dalam melaksanakan
pendidikan. Artikel itu mengusik para penguasa Pemerintah Hindia Belanda hingga
mereka mengubah sistem pendidikan di negeri jajahan. Sebelumnya, pendidikan
hanya dimaksudkan untuk mencetak dan menyiapkan manusia yang siap mengabdi
kepada kepentingan penjajah. Ya, nasionalisme yang dimaksud adalah nasionalisme
terhadap penjajah.
Jaman ini memang hidup terasa serba sulit, dari
pendidikan sampai ekonomi. Wajar saja jika setiap individu berusaha mencari
tempat terbaik untuk mendapat hidup yang layak. Begitulah, tidak sedikit
profesor kita yang meneduh di negeri lain, di langit tempat mereka
menggantungkan cita-cita. Entah akan kembali atau tidak. Jangan disalahkan jika
mereka sukses di rumah lain itu. Toh
Indonesia belum mampu menjadi ‘ibu’ mereka.
Kalau ibu menyekolahkanmu hingga ke negeri seberang, kemudian mengiba memintamu kembali ke rumah membawa perubahan, naluri antara anak dan ibu akan menjadi penguasa. Normalnya, para anak akan kembali ke rumah membahagiakan sang ibu. Indonesia, sudahkah menjadi ibu untuk para anaknya? Anaknya yang setengah hidup setengah mati terbang mengejar cita-cita ke langit, yang kemudian sampailah pada suatu titik bergelar ‘profesor’. Sekarang sang anak sudah terbang tinggi sampai langit, dari atas sana ia bertanya, “Ibu, haruskah saya kembali ke rumah?” Nampaknya ia lebih nyaman berada di langit.