Senin, 12 Juni 2017

Sepanjang Masa

Hari-hari belakangan cukup melelahkan, tubuh maupun pikiran. Seperti saya yang biasanya, hanya akan bertanya kabar sekedarnya. Bertanya ke Ibu, Bapak, Adik, dan kerabat lainnya. Saya -mungkin- tidak sehangat anak-anak lainnya. Tapi Bapak bisa menerima. Suatu hari ia berpesan, "Kalau Gek tidak berkabar, tidak mengeluh, tidak menangis, Bapak anggap Gek dalam keadaan baik. Setuju?" Tentu saya jawab cepat, "Setuju!" Saya yakin Bapak pun tahu bahwa saya memang tidak akan pernah bercerita tentang hal-hal buruk yang saya alami.

Baiklah, itu bukan alasan untuk menjadi anak yang tidak hangat, tapi orang tua saya masih bisa menerima. Ibu -yang seperti biasanya- tidak mau tuan puterinya ini terganggu akan bersikap biasa saja. Hanya mengucapkan selamat pagi, selamat siang, sampai selamat malam. Setiap hari. Pagi hari ia akan kirim pesan, "Tugek semangat kerjanya." Ini berlaku sejak dulu, lho. Sejak ia kirim pesan pagi, "Tugek semangat kuliahnya." Tidak lupa ditambah emoticon senyuman manis. Berbeda dengan Bapak, Ibu adalah wanita yang pencemas, penuh khawatir, tapi sekaligus penuh semangat.

Semakin bertambah usia, saya akan semakin sering mengingat kebaikan dan kasih sayang Ibu dan Bapak. Saya masih ingat jelas, di malam-malam hari yang rasanya gelap sekali, Ibu akan masuk ke kamar, memijati saya hingga tertidur, tanpa sepatah kata pun. Ia tahu saya tak akan berbicara, maka ia pun diam. Anak gadisnya yang sedang patah hati hanya akan menyendiri, diam, membuat tubuhnya lelah hingga tertidur. Lalu setiap pagi hari, ia mengganti dua sampai tiga tangkai bunga segar di kamar saya. Katanya saya harus seindah dan sesegar bunga-bunga itu. Amin.

Ibu selalu memanjakan saya seperti tuan puteri. Salahkah? Tidak. Ia tahu tuan puterinya cukup pintar dan mandiri untuk belajar dan bertahan sendiri. Ia tidak memaksa saya untuk memegang pisau dan bermain dengan rempah di dapur. Tapi ia memastikan saya bisa melakukan hal itu. Ia tidak memaksa saya membersihkan rumah, atau menemaninya berbelanja ke pasar. Tapi ia memastikan saya bisa melakukan hal itu. Ibu dan Bapak banyak diam dalam mendidik saya. Tapi mereka menjaga saya dengan baik.

Saya masih ingat bagaimana Bapak mengajari saya berkendara. Tidak usah diteruskan karena ia bukan guru yang baik. Bapak kebanyakan ngomel dan marah. Lalu ia biarkan saya belajar sendiri. Dan seperti harapannya, saya jadi lebih pintar saat belajar sendiri. Ibu pun tidak pernah mengajari saya Matematika dan yang lainnya. Apa yang ia lakukan? Duduk di sebelah saya, berjam-jam sambil membaca buku. Apa yang saya lakukan? Saya belajar sendirian, dengan TV dan radio yang berisik, dan Ibu yang hening membaca di sebelah saya. Berjam-jam, sampai lewat tengah malam. Ibu hanya menemani, tidak membantu, tidak mengganggu, tidak melakukan apa pun kecuali membaca, dan satu lagi: menyiapkan air jahe hangat di depan saya. Ibu hanya menemani, dan memberi contoh serta pengorbanan.

Sekarang saya memahami berapa banyak yang sebenarnya Ibu dan Bapak lakukan untuk membesarkan saya. Kalau saya lihat kembali wajah Ibu dan Bapak ketika muda, atau ketika saya berusia satu sampai dua tahun; ah cantik dan tampannya, masih cukup terawat. Saya tahu persis, mereka -seperti orang tua lainnya- memberikan segalanya untuk anak-anak mereka. Kalau uang mereka hanya cukup untuk membeli buku sekolah anak, maka tak jadilah mereka membeli selembar dua lembar pakaian atau sekadar sandal baru. Kasih orang tua memang tak terhingga sepanjang masa.

Sekarang rasanya saya punya hal-hal yang cukup untuk menghidupi diri sendiri, tapi saya berjanji bahwa ini adalah titipan yang dibalaskan untuk Ibu dan Bapak. Mereka adalah semangat terbesar saya. Mereka akan sadari atau tidak, mereka sudah membentuk saya menjadi putri yang tangguh dan keras. Ditambah doa mereka, menjadi putri yang dijaga oleh banyak doa dan keberuntungan. Saya punya tanggung jawab yang sangat besar untuk martabat orang tua saya. Saya harus menjaga mereka, paling tidak seperti mereka menjaga saya sejak dalam rahim Ibu.


Bekasi, 12 Juni 2017

Selasa, 10 Februari 2015

Where Will We Go? Nobody Knows

Kamis, 30 Oktober 2014. Saya sedang menikmati siang yang amat panas di Bantimurung, Makassar. Sampai Ibu menelepon pukul tiga sore. Tidak biasa, seperti saya yang juga tidak biasa sejak beberapa hari sebelumnya. Saya selalu menyebut Bali, selalu ingin pulang ke rumah sejak beberapa hari lalu. Dan terjawab oleh sebab Ibu menelepon, katanya Ninik sudah pulang dengan tenang.
Saya hanya tersedu.

Saya tidak hanya mengenang Ninik Aban, saya juga mengingat Pekak Umis. Sebelum Pekak berpulang, beliau meminta sesuatu lewat telepon. "Sering-sering telepon Pekak ya, Putu," katanya. 
Tapi saya tak pernah pulang atau menelepon sampai hari terakhirnya, di bulan Mei 2013. Saya menangis hampir seharian, setelah Ibu menelepon di pagi hari, yang saya pikir juga telepon tak biasa.
Saya hanya menyesal.

Ibu saya adalah Ibu yang super pengertian. Sejak pergi merantau, saya diperlakukan seperti tuan puteri. Tidak boleh capek, tidak boleh banyak pikiran, tidak boleh ini dan itu, dan yang paling penting adalah tidak boleh diganggu. Maka beliau hanya menelepon di malam hari, sehabis pulang kuliah atau pulang bekerja. Itu pun maksimal dua kali seminggu.
Kadang saya membayangkan menjadi Ibu, rasanya mungkin kesepian.
Tapi saya tetap hanya menelepon seminggu sekali. :(

Sampai suatu hari saya memikirkan satu hal,
untuk apa saya pergi merantau?

Dulunya karena cita-cita.
Sejak SMA saya ingin menjadi mahasiswa ITS, tepatnya mahasiswa Jurusan Statistika ITS. Lalu mestakung mengantarkan saya ke tempat tujuan.

Usai kuliah, saya diterima bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta. Bagi saya ini anugerah ke sekian miliar kalinya dari Tuhan. Sebab semuanya begitu mengalir. Meskipun saya harus pergi lebih jauh lagi dari rumah.

Jadi, ini adalah tahun ke-lima saya hidup jauh dari rumah. 
Rasanya semakin menantang.
Saya merasa sangat senang menghabiskan empat tahun di Surabaya. Begitu juga untuk beberapa bulan di Makassar. Di akhir bulan ini, mungkin saja saya akan pergi lagi meninggalkan Jakarta. Namun syukurnya, setiap tempat yang pernah saya tinggali selalu memberikan pelajaran dan kesenangan.

Setiap kota pasti memberi persahabatan baru dan perpisahan.

Surabaya memberi tahu saya untuk apa kita menyusun rakit, dan untuk apa kita mendayung bersama. Saya tidak akan pernah bisa bertahan hidup sendiri tanpa teman-teman yang bagai saudara sedarah.

Jakarta mengajari saya soal belas kasih. Saya mendapat bantuan dari banyak tangan Tuhan. Bagaimana bisa saya hidup seminggu bersama keluarga yang sebelumnya tidak pernah saya kenal? Kota yang ajaib.

Lalu Makassar mengajarkan saya soal ketangguhan. Tangguh dalam bekerja dan belajar, tangguh dalam berteman, termasuk tangguh dalam menghadapi perampok. :(

Lantas saya melanjutkan pikiran soal pergi merantau. Saya tidak pernah rugi. Kecuali untuk waktu bersama keluarga yang tidak akan pernah bisa saya tukar dengan cita-cita, karir, bahkan uang. Ketika saya kehilangan Pekak di Surabaya atau ketika saya kehilangan Ninik di Makassar, mudah-mudahan mereka mengerti bahwa saya selalu bermimpi untuk membanggakan mereka. Bermimpi suatu hari saya pulang dengan hasil keringat saya sendiri. Amin.

Tapi dari jauh saya tetap bisa memantau dan berdoa, agar mereka yang saya sayangi selalu diberi kekuatan dan kebahagiaan. Amin.
Saya pernah membenci suasana rumah. Dan ketika jauh dari rumah, saya sering amat merindukan seisi rumah. Saya percaya, Tuhan sedang menyampaikan beberapa pelajaran kepada saya. Dan mudah-mudahan saya selalu bersedia untuk belajar. Amin.



"Where will we go? Nobody knows." - Coldplay





Jakarta, 10 Februari 2015

Kamis, 10 Juli 2014

Merawat Pikiran

Saya sedang membaca kembali tulisan Andi Hakim Nasution; beberapa halaman dari buku Pola Induksi Seorang Eksperimentalis. Dalam bukunya, Andi Hakim Nasution mengikuti pandangan Al-Ghazali, bahwa ada ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap manusia. Juga ada ilmu yang hanya wajib dipelajari oleh masyarakat, namun tidak oleh setiap orang. Pada bagian ini, saya seperti kena telak. Sebab ada banyak nalar yang saya lewatkan, sengaja ataupun tidak. Ada lagi sebab lainnya; status calon sarjana sains.
Soal nalar, Robin S. Sharma menulis bagian ini pada buku The Monk Who Sold His Ferrari:
"The sages taught me that on an average day, the average person runs about sixty thousands thoughts through his mind. What really amazed me though, was that ninety-five percent of those thoughts were the same as the ones you thought the day before."
Lanjutannya adalah, sebagian besar dari pikiran itu adalah kecemasan. Cemas soal masa lalu dan masa depan, sampai lupa untuk menghidupkan hari ini. Dari sini, saya kemudian beralih soal merawat pikiran. Sebab rasanya begitu sulit untuk merawat pikiran. Misalnya merawat pikiran dalam riuhnya media massa.

Dalam masa Pemilu, saya menabung keraguan untuk Capres No.1 lewat stasiun televisi swasta *sensor1*. Juga bisa menabung keraguan untuk Capres No.2 lewat stasiun televisi swasta *sensor2*. Padahal satu di antara kedua stasiun televisi itu adalah favorit saya. Favorit lantas dicoret sebab perkara ini.

Sebenarnya bukan hanya dalam masa Pemilu, kekuasaan media massa rasanya abadi. Begini; pada tahun 2009 saya harus menyelesaikan sebuah tulisan. Soal peralihan budaya ogoh-ogoh di Bali. Singkatnya, saya membaca koran harian Bali Post pada setiap bulan Maret, sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2009, sebab ogoh-ogoh hanya ada dalam rangkaian Hari Raya Nyepi yang pasti berada dalam bulan Maret. Tentu hanya membaca sepintas kilas. Maka dari sepintas-sepintas itu, saya sedikit tahu kekuatan media massa sejak tahun 1980. Meskipun saya baru lahir pada tahun 1992.
Kita sama-sama tahu apa yang pernah terjadi sepanjang tahun 1980 sampai dengan 2009. If you really know what I mean, kita sama-sama tahu siapa yang pernah (sedang) berkuasa dalam masa itu. Pendeknya, tak ada berita buruk soal era itu, semuanya baik, sangat teramat baik. Namun tak berlaku sepanjang 30 tahun tersebut. Sebab pada masa setelahnya, isi koran jadi netral, berani, dan kritis, bahkan sangat kritis. Nampaknya ada keberanian yang sudah merdeka.

Lalu bagaimana hari ini?

Sampai pada hari ini, internet hampir seperti udara. Maka tak heran jika ada banyak informasi dan informan. Tetapi tidak semua pembaca andal dalam menyaring informasi. Tidak semua pembaca, dan termasuk saya. Ada beberapa di antara masyarakat yang belum andal membedakan fakta dan opini. Ada beberapa di antara masyarakat, termasuk calon sarjana. Bahkan yang menjadi persoalan bukanlah keandalannya, tapi pilihannya untuk tidak mau tahu. Kalau sudah begitu, saran dan kritik dalam opini lantas semaunya ditafsir sebagai fitnah dan pencemaran nama baik. Lalu dengan singkat dapat menciptakan konflik. Selainnya, ada pula informan yang menulis opininya sebagai fakta, yang lantas dengan ringan dipercaya, atau dituntut hingga menciptakan konflik.
Itulah mengapa manusia perlu menyadari bahwa ada ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap manusia. Andi Hakim Nasution juga menulis dalam kutipan lain:
"Namun karena kedhaifan manusia, walaupun ia itu sudah dianggap orang sangat tinggi akal dan budinya, segala sesuatu hasil pengamatan dan perenungan manusia itu selalu saja adalah 'kebenaran' yang diukur oleh alat ukur yang dipikirkan dan diciptakan manusia itu sendiri."
Kembali pada merawat pikiran, maka yang kita tahu hari ini adalah yang tak bisa dipastikan kebenarannya oleh semua jenis alat ukur. Barangkali kita memang punya alat ukur sendiri, yang berbeda antara satu dengan lainnya. Hanya saja, yang benar tak selalu berarti yang kita inginkan. May we accept knowledge from all quarters [1]. 
***


[1] Kutipan dari Upanishad dalam Pola Induksi Seorang Eksperimentalis

Selasa, 28 Januari 2014

Suri [1]

Suri kecil tersentak. Rasanya ia baru saja berbaring, menikmati tidur siangnya di atas tempat tidur seorang tuan putri; tentu cantik, mahal, dan terbuat dari ribuan busa berkualitas paling tinggi. Suri memang tak pernah kekurangan. Siapa yang berani membuat Suri menderita? Satu-satunya anak manis dalam keluarga Tuan Pejabat Royals, yang korupsinya jadi kejahatan paling sempurna sepanjang dekade.

Suri tersentak sebab ia terbangun di tempat lain, atau bisa jadi masa yang lain. Suri tak bangun di atas tempat tidur seorang tuan putri. Suri terbangun di atas genting.

Suri menepuk tangan di muka wajahnya. Memastikan apakah ia sedang bermimpi. “Bukan mimpi, Suri benar sudah bangun tidur,” gumamnya sambil melinangkan air mata. “Mamaaaang!” serunya mulai panik. Tentu Mamang tak menjawab. Tak ada pembantu paling setia bersama Suri. Mamang sedang di istana, bukan bersama Suri yang baru terbangun di atas genting. Suri hanya sendiri di atas genting. Hanya ada genting dan... lautan. Dan Suri.

Suri semakin panik. Suri tak bisa berenang. Suri tak boleh sering berenang oleh Ibu Royals. “Kulitmu tak boleh kena kaporit, Sayang.” Kata Ibu Royals. Apalagi untuk berenang di laut, maka Ayah Royals juga ikut nyinyir, “Suri jangan dekat laut, air laut itu karsinogen. Suri tahu karsinogen? Nanti Suri bisa kena kanker kalau main di air laut. Laut itu tong sampah Ayah. Ke mana lagi Ayah buang limbah pabrik kita? Masak anak Ayah mau berenang di tong sampah?” Itulah yang lebih sedih untuk hidup Suri, karena air laut kini jadi karsinogen, Suri kecil bahkan tak bisa membangun istana dari pasir pantai. Suri memang punya istana yang sebenarnya. Istana Royals.

Sebab tak bisa berenang, Suri hanya diam. Suri masih bisa menggunakan kedua mata bulatnya, melihat-lihat sampai ujung yang dapat dijangkaunya. Suri tak yakin ini lautan, karena ia di atas genting. Mana ada genting mengapung dengan sangat tenang di atas permukaan laut? Kecuali genting ini memang atap sebuah rumah. Kecuali lautan ini adalah air bah.

*bersambung

Senin, 09 Desember 2013

Sistem

Desember.
Aku baru kembali dari Gunung Arjuno. Semalaman kuhabiskan di ketinggian sekian. Tak kucatat, tapi kuingat betul dinginnya pegunungan. Menyakitkan.
Namun begitu hangat ketika pagi mekar.
***

Tapi ada soal lain yang ingin kubincangkan, selain soal kembali ke Surabaya, soal kembali pada suhu bermodus 26 derajat Cecius dalam beberapa minggu terakhir. Ini soal sistem, dan pergumulan dengan idealismeku (yang) sendiri(an).

Aku seringkali tak sepaham dengan suatu sistem. Termasuk sistem pendidikan di Indonesia. Tapi tak akan kubahas banyak-banyak. Kata Andi Hakim Nasution, “Kalau Anda punya musuh besar dan ingin ia tersiksa di dunia, doakanlah dia menjadi Menteri Pendidikan.” Seperti begitu menyiksa, ya? Tuhan, kuatkanlah Menteri Pendidikan kami, Amin.

Meski seringkali tak sepaham dengan sistem, aku tak pernah berontak. Aku diam. Beku di belakang. Dan ini berulang dalam beberapa tahun belakangan. Masalahku, ini seringkali mengganggu. Bagaimana rasanya kau tak bisa memuntahkan isi perutmu? Padahal kau mual sekali, muak sekali.

Aku punya sejuta alasan untuk diam. Karena pernah bicara dan tentu kalah. Karena (rasanya) tak akan ada yang sepaham. Karena aku takut tersisih sendirian. Karena aku tak mau memperpanjang persoalan. Karena aku tak mau buat perkara. Karena bla bla bla. Hingga karena aku pikir, barangkali pendapatku hanya berlaku untukku, bukan untuk yang lain. Maka kalau aku bicara, aku egois. Apalagi jika berontak, maka aku dua kali lipat lebih egois. Jadi, kalau tidak diam, aku hanya mundur dan hilang.

Sejak sering diam, aku tak bisa lagi menemukan perumpaan untuk diriku sendiri. Aku, bertahun-tahun, berdiri di atas sistem yang tak kuhendaki. Aku belum bisa jadi pemberani. Aku bahkan tak bisa bercerita banyak di sini. Semoga Gendis nanti jadi pemberani, ya! Amin.

Kamis, 28 November 2013

Sebenar-benarnya acak.

Hari ini diacak saja.
Toh tidak akan jadi masalah bagi Nusantara. Meski sedang bergemuruh konflik dokter dengan entah siapa di luar sana. 

Baiklah, tak tahan untuk melewatkan cerita. Sebenarnya, aku sedang menolak mengikuti perkara satu ini; dokter berdemo.
Baru kali ini aku lihat dokter seperti ini.
Beberapa hari lalu, Disa bercerita, soal dokter Ayu. Selama ini, melalui Disa aku lihat sedikit pedihnya menjadi seorang dokter. Kalau tak selamat, dokter bersalah. Kalau selamat, maka THANKS GOD! Meski hidup-mati dan segalanya memang ada di jemari Tuhan. Tapi ada yang bikin sebal, coba saja kalau kau lihat ucapan seorang calon dokter, "Bagaimana satu hari tanpa dokternya?" Dipikirnya untuk apa sumpah dokternya kelak, yang akan bergema dari mulutnya sendiri. Bagiku, dokter adalah pekerjaan yang pasti mulia, dengan nurani, bukan dengan dendam.
Aku menolak mengikuti perkara satu ini. Aku diam saja. Diam-diam juga harus berdoa, agar dokter tak sampai bermusuhan dengan masyarakat, and vice versa. Ah, ampuni kami.
***

Minggu ini aku dapat kabar duka, dari kawan SMP. Ia sakit, dan pulang ke rumah Tuhan.
Sudah tiga kawan SMP yang pamit duluan. Maka sesekali aku bertanya, dan harus menjawab sendiri apa yang kutanyakan.

Hidup ini sampai kapan? Tak ada yang tahu akan sepanjang apa nafasmu di bumi. Kalau kata orang Jawa, urip nang dunyo mung mampir ngombe, bahwa hidup di dunia ini hanya untuk mampir minum. Benar juga. Dan soal apakah hidup harus meninggalkan bekas, itu pilihan, pilihan ganda.
Ada bekas baik, juga ada yang tak baik. Sering aku mau menggaris yang baik, tapi rasanya belum bisa. Belum rampung. Memang hidupku belum tentu rampung malam ini.
Soal bekas baik, mungkin kucing akan bertanya, "Mau sebaik apa, Mbak Setya?"
Barangkali bisa kujawab, "Sebaik aku tak lagi membenci engkau dan kaummu, Cing." Haha. 
*Aku baru mengubah sudut pandang soal kucing, yang mungkin suatu hari saja kuceritakan.*
***

Halo, masih terjaga?
Aku benar-benar acak. Acak sampai urutan cerita. Maka cukup saja bagian ini, ya?
Kalau Gendis nanti baca, intinya hanya; aku menulis untuk Gendis dan perkara-perkaranya. Perkara sebelum Gendis dan berjuta Gendis lainnya mampu membaca. Untuk Gendis, menggaris bekas adalah menulis.

Senin, 04 November 2013

Kau pasti akan berjumpa mentari.

Kawanku sedang patah hati. Maka aku pun mau mengakui soal aku pernah patah hati.
***

Hampir setahun. Setelah lebih dari dua tahun yang terasa singkat.
Kau pasti bingung apa yang kubicarakan pada kalimat pertama dan kedua.
Begini;

Di Juli 2010, aku tenggelam pada pria sederhana, yang biasanya lakukan apa saja supaya aku tertawa. Bahkan terbahak-bahak. Seringkali terbahak-bahak, sampai banjir air mata. Bagaimana bisa tak suka? Tentu sulit. Maka meski harus menyambung-nyambung rindu dari Surabaya hingga Jakarta, status berpacaran tetap ingin digenggam, erat-erat.

Kalau kau pernah tahu rasanya jatuh cinta, mungkin tidak sulit memahami bahwa aku tenggelam. Begitu saja tenggelam. Setiap hari, meski terpisah sekitar delapan ratus kilometer, rasanya berwarna. Apalagi kalau ada kesempatan bertemu, dunia sejuta kali lebih berwarna! Tapi yang indah tak selalu lama-lama. Begitu juga kata Ibu, bahwa yang indah tak selalu lama-lama, karena di setiap senang, ada sedih yang ikut antri. Sederhana saja; aku kehujanan di November 2012. Kehujanan air mata.

Desember 2012, aku kena kemarau. Kering, tidak bisa lagi berlinang air mata. Tepatnya, tidak boleh lagi. Aku belajar lupa. Lupa bahwa ada perbincangan di telepon setiap pagi. Lupa bahwa sebelumnya, tawaku hanya bergantung pada pria-sederhana-yang-biasanya-lakukan-apa-saja-supaya-aku-tertawa itu. Lupa bahwa hampir seribu hari sebelumnya aku menimbun terlalu banyak senang, menyimpannya dalam-dalam, mengharapkannya dalam-dalam.

Masih di Desember 2012, aku kebanjiran lagi. Ada yang kulupa. Aku lupa berterima kasih pada Tuhan. Aku lupa bahwa aku teramat sombong. Hampir seribu hari terakhir dari Desember 2012, aku lupa bertemu Tuhan di setiap pagi, siang, juga malam. Maka sejak hari yang juga kulupa itu, aku kembali pada Tuhan, merindukanNya di setiap pagi sampai malam. Bertanya kepadaNya bagaimana kembali ke titik nol. Bercerita kepadaNya bagaimana sakitnya kembali ke titik nol. 

Seketika berubah. Seketika semua berubah. Hujan dan kemarau kemudian hilang. Hilang pelan-pelan mulai Desember 2012. Aku kembali pada Tuhan. Kembali pada keluarga dan teman-teman. Aku ubah gaya rambut, aku ubah gaya berpakaian, aku ubah hampir segalanya! Aku mulai diet; hilangkan empat kilogram, tiga kilogram,  dan seterusnya. Aku belajar makan sayuran, yang sebelumnya tak bisa kulakukan. Aku berolahraga. Berlari, yoga, dan lainnya. Aku tinggalkan yang tak sehat, pelan-pelan.

Halo, November. Tak mudah menjalani setahun ini. Setahun untuk bertemu November kembali. Aku kehilangan kakek di Maret 2013, beliau menyusul nenek ke rumah Tuhan. Aku bersenang-senang di Bandung pada Juli 2013. Aku berlari lebih giat mulai September 2013. Kadang aku berlebihan soal pencapaian berolahraga; karena pesona Maggie Greene di The Walking Dead dan Katniss Everdeen di The Hunger Games. Aku resmi menjadi dua puluh satu tahun di Oktober 2013. Aku jadi menikmati segalanya. Aku tak lagi belajar lupa. Kadang aku rapikan ingatan, kupelajari baik-baik. Kalau tiba waktunya, aku akan diuji kembali, maka aku tak seharusnya lupa pelajaran sebelumnya.
***

Your broken heart isn't that bad. Kau pasti akan lalui badai. Kau juga pasti berjumpa mentari. Tenanglah, tetap bersama Tuhan, dan atom-atom positifnya. Belajarlah.




Jangan lupa senyum, ya.
Kau juga akan berjumpa mentari.