Kamis, 12 Februari 2009

warisan Pulau Serangan

Dahulu kala, sekelompok pelaut bersuku Bugis terdampar di sebuah pulau kecil nan mempesona. Ada banyak versi tentang kelanjutan kisahnya. Namun di akhir cerita, sebuah Kampung Bugis pun menjadi bagian dari pulau menawan itu, Pulau Serangan.

Bagai pelangi, Pulau Serangan yang berpenduduk sekitar 3.500 orang dalam 815 KK ini tak hanya memiliki satu warna. Warna adat dan keyakinan masyarakat di Pulau Serangan bukan hanya adat dan keyakinan mayoritas masyarakat Bali. Kampung Bugis, yang masyarakatnya beragama Islam, hidup berdampingan dalam satu daratan dengan masyarakat Hindu Serangan. Walaupun pemukiman mereka seakan terpisah.
Serangan, pulau kecil yang terletak 500 meter di selatan Kota Denpasar ini menjadi naungan hidup masyarakat dengan dua keyakinan berbeda. Sedikit kisahnya, dahulu kala Pulau Serangan yang kini luasnya mencapai 480 hektar merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Badung. Berawalnya sejarah Kampung Bugis ketika sekelompok pelaut Bugis terdampar di pulau kecil ini pada abad XVII. Kemudian, atas jasa pelaut Bugis yang membantu Kerajaan Badung dalam memerangi Kerajaan Mengwi, sepetak daratan Serangan menjadi hadiah untuk mereka.
Hingga saat ini, Kampung Bugis yang luasnya sekitar dua hektar itu masih abadi ditinggali keturunan sang pelaut Bugis tersebut. Adapun cerita lain yang konon menjadi awal sejarah dari Kampung Bugis di Pulau Serangan. Muhammad Muhadi, Kepala Lingkungan Kampung Bugis pernah menceritakan bahwa menetapnya pelaut-pelaut Bugis yang terdampar itu berawal dari air yang mereka minum. Dalam pelayaran yang sangat melelahkan dari Makassar, para pelaut itu singgah di Serangan untuk mencari air minum. Setelah meneguk air segar itu, mereka terkena pengaruh sira angen — merasa sayang atau kangen dengan Serangan. Sehingga, tak sedikit dari pelaut Bugis itu yang  memutuskan menetap di sana.
Kampung Bugis, dengan masyarakatnya yang berjumlah sekitar 360-an jiwa masih utuh beserta kepingan-kepingan kenangan dari nenek moyang mereka. Beberapa diantaranya seperti masjid kuno bernama Assyuhada dan sebuah Kuburan Tuan Guru. Bermacam-macam pekerjaan yang mereka lakukan untuk menyambung hidup. Mayoritas mencari nafkah dengan melaut. Belakangan ini, cukup banyak yang memilih industri pariwisata atau mengadu nasib di luar Pulau Serangan. “Sebelum ada jalan di Serangan, semuanya jadi nelayan. Sekarang kebanyakan anak-anak bekerja ke luar Serangan,” Muhadi menceritakan.
Sedangkan wilayah tinggal masyarakat Hindu Serangan terletak tidak jauh dari perkampungan masyarakat Bugis. Wilayah pemukiman di antara kedua suku ini dipisahkan oleh parit yang panjang. Perumahan mereka berbaris rapi menghadap satu jalan setapak yang melintang. Tentunya, masih terletak pada satu daratan Pulau Serangan.
Bercerita tentang hubungan dua adat ini, mereka tetap rukun tanpa konflik. Seakan tak ada yang perlu diperbincangkan lagi akan adanya perbedaan suku dan adat di antara keduanya. “Walaupun sekarang ini ada banyak suku, kita masih tetap saling bantu,” Muhadi menuturkan. “ Kalau ada hari raya, mereka (orang Bugis - Red) biasanya bawa jotan ke sini. Begitu juga kita (orang Hindu Serangan - Red),” Nyoman Gita, seorang masyarakat Hindu Serangan berpendapat senada.
Meskipun kedua suku tinggal di atas daratan pulau yang sama, pemukiman yang mereka tempati seakan terkotak-kotak dan terpisah. Menurut I Wayan Karma, Kasi Tramtib Kelurahan Serangan, penyebabnya sederhana saja: tanah Kampung Bugis merupakan warisan dari nenek moyang mereka yang secara turun temurun ditempati oleh orang bugis. Hal itulah yang menyebabkan terbaginya wilayah antara masyarakat Hindu Serangan dan masyarakat Kampung Bugis seperti awal kisah adanya Kampung Bugis di Pulau Serangan. Walau terpisah begitu, bukan berarti antara masyarakat Kampung Bugis dengan masyarakat Hindu Serangan tidak saling berhubungan. Bahkan, rasa solidaritas mereka terlihat erat. “Kalau Galungan, warga Kampung Bugis ikut ngayah. Kalau piodalan juga mereka ikut membantu. Tidak mesti membuat banten, mereka membantu sesuai dengan bidang yang mereka bisa,” cerita Wayan Karma.
Mengutip dari hasil studi lapangan Lisa Woinarski pada tahun 2002, diceritakan bahwa sebelum adanya proyek BTID (Bali Turtle Island Development) pada tahun ’90-an, masyarakat hidup dengan aman dan tentram. Namun, seiring  dengan berjalannya proyek BTID, muncul konflik dalam masyarakat Serangan. Padahal dulu, adanya sedikit konflik dalam masyarakat Serangan cenderung karena pembelahan partai politik daripada pembelahan etnik antara orang Bugis dan Bali. Bahkan, masyarakat Bugis hidup rukun dengan masyarakat Hindu Serangan sampai dianggap bersaudara, begitu yang dijelaskan oleh Wayan Patut, masyarakat Serangan.

Tetapi lebih dari itu, Muhammad Muhadi, Wayan Karma, Nyoman Gita, dan beberapa masyarakat Hindu Serangan serta masyarakat Kampung Bugis lainnya menceritakan bahwa tali persaudaraan antara kedua suku itu masih tetap utuh sejak awal kedatangan pelaut Bugis empat abad yang lalu. Dan hal apapun yang mungkin dapat menggoreskan persaudaraan mereka, hidupnya dua suku yang berbeda di tanah Serangan telah mengukir dan mewariskan cerita perbedaan yang indah untuk anak cucu mereka.