Dahulu kala, sekelompok pelaut bersuku Bugis terdampar
di sebuah pulau kecil nan mempesona. Ada banyak versi tentang kelanjutan
kisahnya. Namun di akhir cerita, sebuah Kampung Bugis pun menjadi bagian
dari pulau menawan itu, Pulau Serangan.
Bagai pelangi, Pulau Serangan yang berpenduduk sekitar 3.500 orang dalam 815 KK ini
tak hanya memiliki satu warna. Warna adat dan keyakinan masyarakat di Pulau
Serangan bukan hanya adat dan keyakinan mayoritas masyarakat Bali .
Kampung Bugis, yang masyarakatnya beragama Islam, hidup berdampingan dalam satu
daratan dengan masyarakat Hindu Serangan. Walaupun pemukiman mereka seakan
terpisah.
Serangan, pulau
kecil yang terletak 500 meter di selatan Kota Denpasar ini menjadi
naungan hidup masyarakat dengan dua keyakinan berbeda. Sedikit kisahnya, dahulu
kala Pulau Serangan yang kini luasnya mencapai 480 hektar merupakan wilayah
kekuasaan Kerajaan Badung. Berawalnya sejarah Kampung Bugis ketika sekelompok
pelaut Bugis terdampar di pulau kecil ini pada abad XVII. Kemudian, atas jasa
pelaut Bugis yang membantu Kerajaan Badung dalam memerangi Kerajaan Mengwi,
sepetak daratan Serangan menjadi hadiah untuk mereka.
Hingga saat ini,
Kampung Bugis yang luasnya sekitar dua hektar itu masih abadi ditinggali
keturunan sang pelaut Bugis tersebut. Adapun cerita lain yang konon menjadi
awal sejarah dari Kampung Bugis di Pulau Serangan. Muhammad Muhadi, Kepala
Lingkungan Kampung Bugis pernah menceritakan bahwa menetapnya pelaut-pelaut
Bugis yang terdampar itu berawal dari air yang mereka minum. Dalam pelayaran
yang sangat melelahkan dari Makassar , para
pelaut itu singgah di Serangan untuk mencari air minum. Setelah meneguk air
segar itu, mereka terkena pengaruh sira angen — merasa sayang atau kangen
dengan Serangan. Sehingga, tak sedikit dari pelaut Bugis itu yang memutuskan menetap di sana .
Kampung Bugis,
dengan masyarakatnya yang berjumlah sekitar 360-an jiwa masih utuh
beserta kepingan-kepingan kenangan dari nenek moyang mereka. Beberapa
diantaranya seperti masjid kuno bernama Assyuhada dan sebuah Kuburan Tuan Guru.
Bermacam-macam pekerjaan yang mereka lakukan untuk menyambung hidup. Mayoritas
mencari nafkah dengan melaut. Belakangan ini, cukup banyak yang memilih
industri pariwisata atau mengadu nasib di luar Pulau Serangan. “Sebelum ada
jalan di Serangan, semuanya jadi nelayan. Sekarang kebanyakan anak-anak bekerja
ke luar Serangan,” Muhadi menceritakan.
Sedangkan wilayah
tinggal masyarakat Hindu Serangan terletak tidak jauh dari perkampungan
masyarakat Bugis. Wilayah pemukiman di antara kedua suku ini dipisahkan oleh
parit yang panjang. Perumahan mereka berbaris rapi menghadap satu jalan setapak
yang melintang. Tentunya, masih terletak pada satu daratan Pulau Serangan.
Bercerita tentang
hubungan dua adat ini, mereka tetap rukun tanpa konflik. Seakan tak ada yang
perlu diperbincangkan lagi akan adanya perbedaan suku dan adat di antara
keduanya. “Walaupun sekarang ini ada banyak suku, kita masih tetap saling
bantu,” Muhadi menuturkan. “ Kalau ada hari raya, mereka (orang Bugis - Red)
biasanya bawa jotan ke sini. Begitu
juga kita (orang Hindu Serangan - Red),” Nyoman Gita, seorang masyarakat Hindu
Serangan berpendapat senada.
Meskipun kedua
suku tinggal di atas daratan pulau yang sama, pemukiman yang mereka tempati
seakan terkotak-kotak dan terpisah. Menurut I
Wayan Karma, Kasi Tramtib Kelurahan Serangan, penyebabnya sederhana saja: tanah
Kampung Bugis merupakan warisan dari nenek moyang mereka yang secara turun
temurun ditempati oleh orang bugis. Hal itulah yang menyebabkan terbaginya wilayah antara masyarakat Hindu Serangan dan masyarakat Kampung Bugis seperti
awal kisah adanya Kampung Bugis di Pulau Serangan. Walau terpisah begitu, bukan
berarti antara masyarakat Kampung Bugis dengan masyarakat Hindu Serangan tidak
saling berhubungan. Bahkan, rasa solidaritas mereka terlihat erat. “Kalau
Galungan, warga Kampung Bugis ikut ngayah.
Kalau piodalan juga mereka ikut membantu. Tidak mesti membuat banten, mereka membantu sesuai dengan
bidang yang mereka bisa,” cerita Wayan Karma.
Mengutip dari
hasil studi lapangan Lisa Woinarski pada tahun 2002, diceritakan bahwa sebelum
adanya proyek BTID (Bali Turtle Island Development) pada tahun ’90-an,
masyarakat hidup dengan aman dan tentram. Namun, seiring dengan berjalannya proyek BTID, muncul
konflik dalam masyarakat Serangan. Padahal dulu, adanya sedikit konflik dalam
masyarakat Serangan cenderung karena pembelahan partai politik daripada pembelahan
etnik antara orang Bugis dan Bali . Bahkan, masyarakat
Bugis hidup rukun dengan masyarakat Hindu Serangan sampai dianggap bersaudara, begitu yang dijelaskan oleh Wayan Patut, masyarakat Serangan.
Tetapi lebih dari itu, Muhammad Muhadi, Wayan Karma, Nyoman Gita, dan
beberapa masyarakat Hindu Serangan serta masyarakat Kampung Bugis lainnya
menceritakan bahwa tali persaudaraan antara kedua suku itu masih tetap utuh
sejak awal kedatangan pelaut Bugis empat abad yang lalu. Dan hal apapun yang
mungkin dapat menggoreskan persaudaraan mereka, hidupnya dua suku yang berbeda
di tanah Serangan telah mengukir dan mewariskan cerita perbedaan yang indah
untuk anak cucu mereka.