Senin, 12 Juni 2017

Sepanjang Masa

Hari-hari belakangan cukup melelahkan, tubuh maupun pikiran. Seperti saya yang biasanya, hanya akan bertanya kabar sekedarnya. Bertanya ke Ibu, Bapak, Adik, dan kerabat lainnya. Saya -mungkin- tidak sehangat anak-anak lainnya. Tapi Bapak bisa menerima. Suatu hari ia berpesan, "Kalau Gek tidak berkabar, tidak mengeluh, tidak menangis, Bapak anggap Gek dalam keadaan baik. Setuju?" Tentu saya jawab cepat, "Setuju!" Saya yakin Bapak pun tahu bahwa saya memang tidak akan pernah bercerita tentang hal-hal buruk yang saya alami.

Baiklah, itu bukan alasan untuk menjadi anak yang tidak hangat, tapi orang tua saya masih bisa menerima. Ibu -yang seperti biasanya- tidak mau tuan puterinya ini terganggu akan bersikap biasa saja. Hanya mengucapkan selamat pagi, selamat siang, sampai selamat malam. Setiap hari. Pagi hari ia akan kirim pesan, "Tugek semangat kerjanya." Ini berlaku sejak dulu, lho. Sejak ia kirim pesan pagi, "Tugek semangat kuliahnya." Tidak lupa ditambah emoticon senyuman manis. Berbeda dengan Bapak, Ibu adalah wanita yang pencemas, penuh khawatir, tapi sekaligus penuh semangat.

Semakin bertambah usia, saya akan semakin sering mengingat kebaikan dan kasih sayang Ibu dan Bapak. Saya masih ingat jelas, di malam-malam hari yang rasanya gelap sekali, Ibu akan masuk ke kamar, memijati saya hingga tertidur, tanpa sepatah kata pun. Ia tahu saya tak akan berbicara, maka ia pun diam. Anak gadisnya yang sedang patah hati hanya akan menyendiri, diam, membuat tubuhnya lelah hingga tertidur. Lalu setiap pagi hari, ia mengganti dua sampai tiga tangkai bunga segar di kamar saya. Katanya saya harus seindah dan sesegar bunga-bunga itu. Amin.

Ibu selalu memanjakan saya seperti tuan puteri. Salahkah? Tidak. Ia tahu tuan puterinya cukup pintar dan mandiri untuk belajar dan bertahan sendiri. Ia tidak memaksa saya untuk memegang pisau dan bermain dengan rempah di dapur. Tapi ia memastikan saya bisa melakukan hal itu. Ia tidak memaksa saya membersihkan rumah, atau menemaninya berbelanja ke pasar. Tapi ia memastikan saya bisa melakukan hal itu. Ibu dan Bapak banyak diam dalam mendidik saya. Tapi mereka menjaga saya dengan baik.

Saya masih ingat bagaimana Bapak mengajari saya berkendara. Tidak usah diteruskan karena ia bukan guru yang baik. Bapak kebanyakan ngomel dan marah. Lalu ia biarkan saya belajar sendiri. Dan seperti harapannya, saya jadi lebih pintar saat belajar sendiri. Ibu pun tidak pernah mengajari saya Matematika dan yang lainnya. Apa yang ia lakukan? Duduk di sebelah saya, berjam-jam sambil membaca buku. Apa yang saya lakukan? Saya belajar sendirian, dengan TV dan radio yang berisik, dan Ibu yang hening membaca di sebelah saya. Berjam-jam, sampai lewat tengah malam. Ibu hanya menemani, tidak membantu, tidak mengganggu, tidak melakukan apa pun kecuali membaca, dan satu lagi: menyiapkan air jahe hangat di depan saya. Ibu hanya menemani, dan memberi contoh serta pengorbanan.

Sekarang saya memahami berapa banyak yang sebenarnya Ibu dan Bapak lakukan untuk membesarkan saya. Kalau saya lihat kembali wajah Ibu dan Bapak ketika muda, atau ketika saya berusia satu sampai dua tahun; ah cantik dan tampannya, masih cukup terawat. Saya tahu persis, mereka -seperti orang tua lainnya- memberikan segalanya untuk anak-anak mereka. Kalau uang mereka hanya cukup untuk membeli buku sekolah anak, maka tak jadilah mereka membeli selembar dua lembar pakaian atau sekadar sandal baru. Kasih orang tua memang tak terhingga sepanjang masa.

Sekarang rasanya saya punya hal-hal yang cukup untuk menghidupi diri sendiri, tapi saya berjanji bahwa ini adalah titipan yang dibalaskan untuk Ibu dan Bapak. Mereka adalah semangat terbesar saya. Mereka akan sadari atau tidak, mereka sudah membentuk saya menjadi putri yang tangguh dan keras. Ditambah doa mereka, menjadi putri yang dijaga oleh banyak doa dan keberuntungan. Saya punya tanggung jawab yang sangat besar untuk martabat orang tua saya. Saya harus menjaga mereka, paling tidak seperti mereka menjaga saya sejak dalam rahim Ibu.


Bekasi, 12 Juni 2017