Selasa, 10 Februari 2015

Where Will We Go? Nobody Knows

Kamis, 30 Oktober 2014. Saya sedang menikmati siang yang amat panas di Bantimurung, Makassar. Sampai Ibu menelepon pukul tiga sore. Tidak biasa, seperti saya yang juga tidak biasa sejak beberapa hari sebelumnya. Saya selalu menyebut Bali, selalu ingin pulang ke rumah sejak beberapa hari lalu. Dan terjawab oleh sebab Ibu menelepon, katanya Ninik sudah pulang dengan tenang.
Saya hanya tersedu.

Saya tidak hanya mengenang Ninik Aban, saya juga mengingat Pekak Umis. Sebelum Pekak berpulang, beliau meminta sesuatu lewat telepon. "Sering-sering telepon Pekak ya, Putu," katanya. 
Tapi saya tak pernah pulang atau menelepon sampai hari terakhirnya, di bulan Mei 2013. Saya menangis hampir seharian, setelah Ibu menelepon di pagi hari, yang saya pikir juga telepon tak biasa.
Saya hanya menyesal.

Ibu saya adalah Ibu yang super pengertian. Sejak pergi merantau, saya diperlakukan seperti tuan puteri. Tidak boleh capek, tidak boleh banyak pikiran, tidak boleh ini dan itu, dan yang paling penting adalah tidak boleh diganggu. Maka beliau hanya menelepon di malam hari, sehabis pulang kuliah atau pulang bekerja. Itu pun maksimal dua kali seminggu.
Kadang saya membayangkan menjadi Ibu, rasanya mungkin kesepian.
Tapi saya tetap hanya menelepon seminggu sekali. :(

Sampai suatu hari saya memikirkan satu hal,
untuk apa saya pergi merantau?

Dulunya karena cita-cita.
Sejak SMA saya ingin menjadi mahasiswa ITS, tepatnya mahasiswa Jurusan Statistika ITS. Lalu mestakung mengantarkan saya ke tempat tujuan.

Usai kuliah, saya diterima bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta. Bagi saya ini anugerah ke sekian miliar kalinya dari Tuhan. Sebab semuanya begitu mengalir. Meskipun saya harus pergi lebih jauh lagi dari rumah.

Jadi, ini adalah tahun ke-lima saya hidup jauh dari rumah. 
Rasanya semakin menantang.
Saya merasa sangat senang menghabiskan empat tahun di Surabaya. Begitu juga untuk beberapa bulan di Makassar. Di akhir bulan ini, mungkin saja saya akan pergi lagi meninggalkan Jakarta. Namun syukurnya, setiap tempat yang pernah saya tinggali selalu memberikan pelajaran dan kesenangan.

Setiap kota pasti memberi persahabatan baru dan perpisahan.

Surabaya memberi tahu saya untuk apa kita menyusun rakit, dan untuk apa kita mendayung bersama. Saya tidak akan pernah bisa bertahan hidup sendiri tanpa teman-teman yang bagai saudara sedarah.

Jakarta mengajari saya soal belas kasih. Saya mendapat bantuan dari banyak tangan Tuhan. Bagaimana bisa saya hidup seminggu bersama keluarga yang sebelumnya tidak pernah saya kenal? Kota yang ajaib.

Lalu Makassar mengajarkan saya soal ketangguhan. Tangguh dalam bekerja dan belajar, tangguh dalam berteman, termasuk tangguh dalam menghadapi perampok. :(

Lantas saya melanjutkan pikiran soal pergi merantau. Saya tidak pernah rugi. Kecuali untuk waktu bersama keluarga yang tidak akan pernah bisa saya tukar dengan cita-cita, karir, bahkan uang. Ketika saya kehilangan Pekak di Surabaya atau ketika saya kehilangan Ninik di Makassar, mudah-mudahan mereka mengerti bahwa saya selalu bermimpi untuk membanggakan mereka. Bermimpi suatu hari saya pulang dengan hasil keringat saya sendiri. Amin.

Tapi dari jauh saya tetap bisa memantau dan berdoa, agar mereka yang saya sayangi selalu diberi kekuatan dan kebahagiaan. Amin.
Saya pernah membenci suasana rumah. Dan ketika jauh dari rumah, saya sering amat merindukan seisi rumah. Saya percaya, Tuhan sedang menyampaikan beberapa pelajaran kepada saya. Dan mudah-mudahan saya selalu bersedia untuk belajar. Amin.



"Where will we go? Nobody knows." - Coldplay





Jakarta, 10 Februari 2015