Dia berulang kali mengais masa lalu. Mengumpulkan satu persatu.
Menyusun bagian demi bagian. Juga tanyanya tak pernah berhenti. Mengapa? Bahkan
di tahun ketiga, semua gelisah masih sama.
Dia bilang dia gagal. Gagal jadi manusia. Dia gagal menerima
bahwa, pada suatu masa, segalanya bagaikan sulap. Abracadabra! Tak
ada yang persis sama. Indah dulu tak melulu sama.
Maka ketika tahun berjalan, ruhnya masih enggan berjalan.
Matanya tak diam, begitu pun kedua telinga. Sekelilingnya berlari. Berpeluh.
Berdarah. Dia? Dia terperangkap di balik abar.
Abarnya adalah tubuhnya. Tubuh yang menolak bahwa dia tak akan
tahu kapan selesai masanya. Tubuh yang menolak menjadi air di setiap wadah.
Rasanya, dulu, seseorang berkata padanya, bahwa dia adalah air. Ilmunya pun
adalah air. Dia tak pernah temukan bukti.
Begitulah di balik abar, dia temukan kantong sampah. Besar.
Tinggi. Bertumpuk. Dia mengais bukti. Mengais masa lalu. Mengais sampah.Abracadabra!
Sekelilingnya berdarah. Dia penuh sampah. Bau. Kotor. Hitam.
Dikutuknya yang berdarah. Dilekapnya para sampah. Sudah terucap,
bahwa ruhnya enggan berjalan. Dia, bahkan tubuh dan ruhnya, tak pernah mengerti
mengapa harus mengais yang tak akan didapatnya. Dia tak butuh sampah. Dia harus
berdarah. Dia menangis.
Tears stream down your face/ when you lose something you can’t
replace//
- Senandung Coldplay
Surabaya, 7 April 2013