Senin, 04 November 2013

dalam rindu kepada Bandung

Halo, November.
Menjadikan perkara Gendis sebagai buku harian adalah tidak mudah. Menulis setiap pikiran juga tidak mudah. Tapi sesekali, bercerita itu perlu.

Banyak yang terlewat. Soal penembakan polisi, dinasti politik, televisi sampah, sampai negeri ini kehabisan buku nikah (atau surat nikah, entahlah).
Ada yang belum terlewat; rindu.

Aku merindukan Bandung sejak beberapa minggu lalu. Merindu sampai menusuk-nusuk, ke memori paling dalam. Soal bagaimana hujan turun di Tikukur, bagaimana Lembang terlihat begitu jauh. Kabut, layang-layang, langit gerimis, dan senja kemerahan. Bandung tak pernah tak indah kala itu.

Nah, sewaktu tinggal di Tikukur, aku biasa menikmati sore di ujung dapur. Di sudut itu aku bisa lihat Lembang, di bawah langit senja dengan layang-layang. Sesekali gerimis merintik, kadang juga hujan begitu deras. Usai itu, kalau langit belum gelap, maka mentari seperti membelah, meminta jalan untuknya bersinar lagi. Kadang diijinkan, kadang juga tidak.

Aku juga rindu berjalan kaki. Untuk mengobatinya, mudah saja; berjalan kaki dengan rute kos-kampus-kos. Tapi berbeda. Tak ada gerimis, tak ada hujan deras. Terik dan menyengat. Tidak sejuk sama sekali. Tentu begini Surabaya. Tapi kemudian aku bertanya; aku rindu Bandung atau hujannya?




Surabaya, 4 November 2013
dalam rindu kepada Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar