Kamis, 10 Juli 2014

Merawat Pikiran

Saya sedang membaca kembali tulisan Andi Hakim Nasution; beberapa halaman dari buku Pola Induksi Seorang Eksperimentalis. Dalam bukunya, Andi Hakim Nasution mengikuti pandangan Al-Ghazali, bahwa ada ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap manusia. Juga ada ilmu yang hanya wajib dipelajari oleh masyarakat, namun tidak oleh setiap orang. Pada bagian ini, saya seperti kena telak. Sebab ada banyak nalar yang saya lewatkan, sengaja ataupun tidak. Ada lagi sebab lainnya; status calon sarjana sains.
Soal nalar, Robin S. Sharma menulis bagian ini pada buku The Monk Who Sold His Ferrari:
"The sages taught me that on an average day, the average person runs about sixty thousands thoughts through his mind. What really amazed me though, was that ninety-five percent of those thoughts were the same as the ones you thought the day before."
Lanjutannya adalah, sebagian besar dari pikiran itu adalah kecemasan. Cemas soal masa lalu dan masa depan, sampai lupa untuk menghidupkan hari ini. Dari sini, saya kemudian beralih soal merawat pikiran. Sebab rasanya begitu sulit untuk merawat pikiran. Misalnya merawat pikiran dalam riuhnya media massa.

Dalam masa Pemilu, saya menabung keraguan untuk Capres No.1 lewat stasiun televisi swasta *sensor1*. Juga bisa menabung keraguan untuk Capres No.2 lewat stasiun televisi swasta *sensor2*. Padahal satu di antara kedua stasiun televisi itu adalah favorit saya. Favorit lantas dicoret sebab perkara ini.

Sebenarnya bukan hanya dalam masa Pemilu, kekuasaan media massa rasanya abadi. Begini; pada tahun 2009 saya harus menyelesaikan sebuah tulisan. Soal peralihan budaya ogoh-ogoh di Bali. Singkatnya, saya membaca koran harian Bali Post pada setiap bulan Maret, sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2009, sebab ogoh-ogoh hanya ada dalam rangkaian Hari Raya Nyepi yang pasti berada dalam bulan Maret. Tentu hanya membaca sepintas kilas. Maka dari sepintas-sepintas itu, saya sedikit tahu kekuatan media massa sejak tahun 1980. Meskipun saya baru lahir pada tahun 1992.
Kita sama-sama tahu apa yang pernah terjadi sepanjang tahun 1980 sampai dengan 2009. If you really know what I mean, kita sama-sama tahu siapa yang pernah (sedang) berkuasa dalam masa itu. Pendeknya, tak ada berita buruk soal era itu, semuanya baik, sangat teramat baik. Namun tak berlaku sepanjang 30 tahun tersebut. Sebab pada masa setelahnya, isi koran jadi netral, berani, dan kritis, bahkan sangat kritis. Nampaknya ada keberanian yang sudah merdeka.

Lalu bagaimana hari ini?

Sampai pada hari ini, internet hampir seperti udara. Maka tak heran jika ada banyak informasi dan informan. Tetapi tidak semua pembaca andal dalam menyaring informasi. Tidak semua pembaca, dan termasuk saya. Ada beberapa di antara masyarakat yang belum andal membedakan fakta dan opini. Ada beberapa di antara masyarakat, termasuk calon sarjana. Bahkan yang menjadi persoalan bukanlah keandalannya, tapi pilihannya untuk tidak mau tahu. Kalau sudah begitu, saran dan kritik dalam opini lantas semaunya ditafsir sebagai fitnah dan pencemaran nama baik. Lalu dengan singkat dapat menciptakan konflik. Selainnya, ada pula informan yang menulis opininya sebagai fakta, yang lantas dengan ringan dipercaya, atau dituntut hingga menciptakan konflik.
Itulah mengapa manusia perlu menyadari bahwa ada ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap manusia. Andi Hakim Nasution juga menulis dalam kutipan lain:
"Namun karena kedhaifan manusia, walaupun ia itu sudah dianggap orang sangat tinggi akal dan budinya, segala sesuatu hasil pengamatan dan perenungan manusia itu selalu saja adalah 'kebenaran' yang diukur oleh alat ukur yang dipikirkan dan diciptakan manusia itu sendiri."
Kembali pada merawat pikiran, maka yang kita tahu hari ini adalah yang tak bisa dipastikan kebenarannya oleh semua jenis alat ukur. Barangkali kita memang punya alat ukur sendiri, yang berbeda antara satu dengan lainnya. Hanya saja, yang benar tak selalu berarti yang kita inginkan. May we accept knowledge from all quarters [1]. 
***


[1] Kutipan dari Upanishad dalam Pola Induksi Seorang Eksperimentalis

Selasa, 28 Januari 2014

Suri [1]

Suri kecil tersentak. Rasanya ia baru saja berbaring, menikmati tidur siangnya di atas tempat tidur seorang tuan putri; tentu cantik, mahal, dan terbuat dari ribuan busa berkualitas paling tinggi. Suri memang tak pernah kekurangan. Siapa yang berani membuat Suri menderita? Satu-satunya anak manis dalam keluarga Tuan Pejabat Royals, yang korupsinya jadi kejahatan paling sempurna sepanjang dekade.

Suri tersentak sebab ia terbangun di tempat lain, atau bisa jadi masa yang lain. Suri tak bangun di atas tempat tidur seorang tuan putri. Suri terbangun di atas genting.

Suri menepuk tangan di muka wajahnya. Memastikan apakah ia sedang bermimpi. “Bukan mimpi, Suri benar sudah bangun tidur,” gumamnya sambil melinangkan air mata. “Mamaaaang!” serunya mulai panik. Tentu Mamang tak menjawab. Tak ada pembantu paling setia bersama Suri. Mamang sedang di istana, bukan bersama Suri yang baru terbangun di atas genting. Suri hanya sendiri di atas genting. Hanya ada genting dan... lautan. Dan Suri.

Suri semakin panik. Suri tak bisa berenang. Suri tak boleh sering berenang oleh Ibu Royals. “Kulitmu tak boleh kena kaporit, Sayang.” Kata Ibu Royals. Apalagi untuk berenang di laut, maka Ayah Royals juga ikut nyinyir, “Suri jangan dekat laut, air laut itu karsinogen. Suri tahu karsinogen? Nanti Suri bisa kena kanker kalau main di air laut. Laut itu tong sampah Ayah. Ke mana lagi Ayah buang limbah pabrik kita? Masak anak Ayah mau berenang di tong sampah?” Itulah yang lebih sedih untuk hidup Suri, karena air laut kini jadi karsinogen, Suri kecil bahkan tak bisa membangun istana dari pasir pantai. Suri memang punya istana yang sebenarnya. Istana Royals.

Sebab tak bisa berenang, Suri hanya diam. Suri masih bisa menggunakan kedua mata bulatnya, melihat-lihat sampai ujung yang dapat dijangkaunya. Suri tak yakin ini lautan, karena ia di atas genting. Mana ada genting mengapung dengan sangat tenang di atas permukaan laut? Kecuali genting ini memang atap sebuah rumah. Kecuali lautan ini adalah air bah.

*bersambung