Minggu, 24 Maret 2013

Kematian mungkin tak menyakitkan. Kelahiran begitu juga, ya?
Tapi kehidupan, kadang menyakitkan.
Dan atas segala kemarahan, saya mohon maafkan.
Selamat jalan, Pekak. Silahkan berjalan, menyusul Ninik.
Terangkan jalanmu, terangkan bumi dan kami.

Saya mencintai kalian.

Senin, 26 November 2012

Ibu, Haruskah Saya Kembali ke Rumah?

“Belajar yang baik, Nak. Kejar ilmu hingga ke negeri seberang. Lantas kembalilah ke rumah, ubah hidup kita.” Nasihat seorang ibu melepas anak kebanggaannya.

Tak terhitung berapa ibu di Indonesia yang pernah ditinggal anak-anaknya demi mengejar ilmu. Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Umumnya anak Indonesia mengenal kalimat itu sejak usia kecil. Kalau cita-cita sudah digantung setinggi langit, bagaimana saya mendapatkannya, Bu Guru?
Kalau di Indonesia, masalah pendidikan kadang-kadang jadi masalah yang sangat pribadi. Kalau kamu ingin jadi dokter tapi tak mampu bertahan hidup dengan biaya pendidikan seorang dokter, ya deritamu. Tak peduli kamu jenius atau tidak, berkualitas atau tidak. Kalau tidak beruntung mendapatkan beasiswa sebagai satu-satunya penyelamat, tamat sudah cita-cita menjadi dokter. Akhirnya, cita-cita di langit jatuh ringan dan dikubur dalam-dalam.
Lain lagi dengan yang satu ini. “Sekolah tidak penting. Yang penting buka usaha, untung besar, sudah.” Kalau sudah beruntung besar menjadi pengusaha, sudahlah cukup hidup ini. Cita-cita keluar dari daftar kehidupan, kecuali memang cita-citanya menjadi pengusaha sukses. Ini mengingatkan saya pada malam sekitar dua tahun yang lalu. Seorang pedagang roti bakar pinggir jalan pernah bercerita pada saya. “Ah, saya males sekolah. Ngapain sekolah, biar kakak saya saja yang TNI. Saya dagang begini sajalah,” tuturnya tetap sibuk dengan roti bakar. Sekilas saya bercakap dengannya, pria muda dengan gerobak roti ukuran kecil itu belum hidup dalam standar sejahtera menurut saya.
Kalau saya lihat, masih ada pribadi lainnya. Mereka yang sangat gemar belajar, mengagumi indahnya pengetahuan, eksak ataupun non-eksak. Relatif benar kata Andrea Hirata, semangat dan ilmu dapat menaklukan apapun. Sarjana tidaklah cukup, kalau bisa sampai profesor. Tentu saja ini di luar pandangan bahwa ilmu tak hanya didapat dari bangku sekolah, bahwa jadi kutu buku saja sudah cukup untuk berkenalan dengan ilmu pengetahuan. Ya, Indonesia masih punya orang-orang seperti ini, kok. Orang-orang yang setengah hidup setengah mati berjuang dalam bentuk belajar, menyelesaikan skripsi sampai disertasi. Syukurlah.

Profesor, Nasibmu Kini
Ini cerita untuk satu tipe pejuang dalam pendidikan, profesor. Tidak mudah mendapat gelar profesor. Jangankan profesor, untuk jadi sarjana saja kadang-kadang tiga perempat nyawa saya -rasanya- hendak keluar dari tubuh menghadapi ujian, tugas, atau presentasi. Memang kemampuan akademis saya yang biasa saja. Tapi entah mengapa saya yakin, sepintar-pintarnya calon sarjana, pasti pernah mengalami hal seperti itu. Intinya, luar biasa para profesor itu. Sekali lagi, semangat dan ilmu dapat menaklukan apapun.
Dengan semua persepsi itulah mata saya terbelalak ketika membaca harian Kompas edisi Selasa, 25 Oktober 2011. Di sudut kiri atas halaman paling depan, judul ini menarik hati saya untuk membacanya. Gaji Profesor Lebih Rendah dari Guru SD.
Melansir Kompas edisi kali itu, Jan Sopaheluwakan adalah pakar ilmu kebumian yang 30 tahun lamanya bekerja untuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Posisinya adalah profesor riset yang berada dalam pangkat tertinggi golongan IV/E di LIPI. Jan menempuh pendidikan S-2 dan S-3 di perguruan tinggi luar negeri. Kini, setiap bulan Jan menerima Rp 5,2 juta sebagai pengabdi di LIPI. Rupiah itu kita sebut sebagai gaji.
Sementara itu, guru sekolah dasar (SD) di Kabupaten Serang, mendapatkan gaji Rp 6,5 juta per bulan. Lain lagi dengan guru SD di Jakarta yang gajinya Rp 8,6 juta per bulan. Keduanya adalah guru dalam golongan IV/A.
Memang bukan masalah uang. Semakin tinggi tingkat pendidikan, bukan berarti semakin tinggi penghasilan dalam bentuk uang. Tapi perhatikan apa yang profesor riset kerjakan di setiap negara, termasuk Indonesia. Meneliti, mendapatkan penemuan baru. Ini tidak sepele untuk kemajuan bangsa dan dunia. Sekecil apapun penelitian dan penemuan, tak akan ada lampu kalau Thomas Alva Edison tidak memulainya dengan meneliti. Di Indonesia, bagi orang awam seperti saya, mungkin tidak banyak penelitian di Indonesia yang diketahui. Belum sebombastis hasil riset di Jepang mungkin. Tapi ternyata banyak hasil riset di Indonesia yang mandeg tak berlanjut atau tak komersil. Lagi-lagi karena biaya dan peralatan, masih juga ditambah akibat sistem birokrasi.
Gaji juga bisa diartikan sebagai penghargaan atau balas jasa, atas apa yang seseorang kerjakan untuk mereka yang menggajinya. Sudah luas begini profesor riset Indonesia mengarungi ilmu, tapi penghargaan terhadapnya terlihat miris. Bagi saya miris, seakan-akan kita tidak menghargai pendidikan. Jepang, terlepas dari kemakmurannya yang melampaui Indonesia, berani menggaji profesor risetnya hingga Rp 600 juta sampai Rp 900 juta per bulan. Jepang menggantungkan nasib negaranya pada pendidikan. Semakin miris.

Lebih Nyaman Berada di Langit
Kalau sudah begini keadaannya, salahkan profesor-profesor kita (Indonesia) bekerja di negara lain? Bekerja atas nama negara lain. Hak hidup seseorang adalah hak masing-masing individu. Kalau negara lain bisa menghidupinya lebih layak, mengapa tidak? Tentu saja ini di luar konteks rasa nasionalisme penduduk Indonesia. Ini juga pekerjaan rumah yang kompleks untuk rakyat Indonesia. Masalah gaji profesor, pendidikan, sampai pada rasa nasionalisme rakyat Indonesia.
Dulu, penjajah kita sudah mendidik nasionalisme penduduk Indonesia. Van Deventer, seorang sosialis dan tokoh di balik lahirnya politik etis (etische politiek) pernah menulis artikel berjudul Hutang Kehormatan yang dimuat majalah de Gids (1899). Van Deventer melihat adanya ketidakadilan pemerintah Hindia Belanda dalam melaksanakan pendidikan. Artikel itu mengusik para penguasa Pemerintah Hindia Belanda hingga mereka mengubah sistem pendidikan di negeri jajahan. Sebelumnya, pendidikan hanya dimaksudkan untuk mencetak dan menyiapkan manusia yang siap mengabdi kepada kepentingan penjajah. Ya, nasionalisme yang dimaksud adalah nasionalisme terhadap penjajah.
Jaman ini memang hidup terasa serba sulit, dari pendidikan sampai ekonomi. Wajar saja jika setiap individu berusaha mencari tempat terbaik untuk mendapat hidup yang layak. Begitulah, tidak sedikit profesor kita yang meneduh di negeri lain, di langit tempat mereka menggantungkan cita-cita. Entah akan kembali atau tidak. Jangan disalahkan jika mereka sukses di rumah lain itu. Toh Indonesia belum mampu menjadi ‘ibu’ mereka.

Kalau ibu menyekolahkanmu hingga ke negeri seberang, kemudian mengiba memintamu kembali ke rumah membawa perubahan, naluri antara anak dan ibu akan menjadi penguasa. Normalnya, para anak akan kembali ke rumah membahagiakan sang ibu. Indonesia, sudahkah menjadi ibu untuk para anaknya? Anaknya yang setengah hidup setengah mati terbang mengejar cita-cita ke langit, yang kemudian sampailah pada suatu titik bergelar ‘profesor’. Sekarang sang anak sudah terbang tinggi sampai langit, dari atas sana ia bertanya, “Ibu, haruskah saya kembali ke rumah?” Nampaknya ia lebih nyaman berada di langit.

Kamis, 15 Desember 2011

Cut To!

Sore itu kasar. Letih dan bisu. Saya hanya diam, tak sepercik kata saya uraikan. Padahal mereka, orang-orang yang saya cintai sedang bercengkrama, berbahagia.
***

Ayah dan Ibu tak lagi mau tahu. Berulang kali saya mendebat, berulang kali saya menang. Saya tahu betul mereka tak suka saya seperti itu, keluar-pagi-kembali-malam. Tapi itu saya, merasa apa pun yang saya lakukan itu adalah hal yang baik, memang tidak buruk. Satu masalah itu sudah cukup berat.

Kali itu benar-benar menyakitkan. Linglung dan letih menelepon bolak balik.
Sudah sampai titik akhir. Tinggal satu
 scene lagi, rampunglah film cerita itu. Tapi kami tak berdaya.

Tidak ada aktris, tidak ada waktu, dan tidak ada biaya. Kami melaluinya selama berminggu-minggu. Tapi di titik akhir ini, saya benar-benar gagal memimpin.
Calon-calon pemain satu persatu menerima telepon saya, tapi tak satu pun menerima tawaran saya. Itulah mengapa saya diam.

"Kamu kenapa, Set?" tanya Disa, sahabat baik yang saya jumpai di Madyapadma. Beberapa gelengan kepala yang saya berikan untuknya. Diam, tak sepatah kata pun keluar dari mulut. Saya seperti zombie kala itu. Ya Tuhan, berat sekali rasanya.

Bukan hanya Disa, satu persatu dari mereka, sahabat-sahabat baik, menghampiri dan mencoba menghibur. Gagal. Saya benar-benar seperti tak bernyawa.

Sore itu usai. Kembali ke rumah dan beristirahat. Bertemu keluarga, dan suasana rumah itu pun tak menyenangkan. Muak dan saya tertekan. Stressed.

Satu scene yang gagal. Satu scene yang tak selesai. Bahkan sampai saat ini pun tak juga jadi. Saya sang produser, dengan kegagalan yang fatal.

------------------------------------------------------------------------------------------------



Scene 1 – Kelas 3 IPA 5 – Int- Siang
Cast : Slamet, Yogi dkk, Guru Bahasa Inggris, siswa kelas 3 IPA 5 lainnya
Kipas angin yang tergantung di plafon kelas berputar-putar. Anehnya, ada sebuah tas ransel berwarna hitam yang tergantung di sana.
Slamet, seorang cowok berambut cikrak dan bertinggi badan sedang, tiba-tiba masuk kelas sambil membawa air mineral gelas. Ketika itu, kelas cukup ribut. Anak-anak berseragam putih abu bergerombol di beberapa sudut, mengobrol dengan teman masing-masing. Guru belum datang.
Saat Slamaet melihat tas yang tergantung di kipas angin, ia langsung mendecakkan lidajnya dengan kesal. Ternyata itu tasnya. Ia pun berjalan menuju bawah kipas angin sambil mengomel.

Slamet
Baru tak tinggal bentar udah kaya gini.
Slamet meletakkan minumannya, beranjak naik ke atas meja yang ada di bawah kipas, lalu mengambil tasnya. Sementara itu, terdengar suara tawa dari arah belakang. Ternyata Yogi, Arya, Wira, dan 3 orang lainnya menertawakan Slamet. Mereka mulai melempari Slamet dengan kulit kacang.

Arya
Woo… wooo… sok kali si Slamet…

Yogi
Ae… sebeng gud gen…

Teman 1
Keto be nak desa sing taen ningalin kipas, kadene jemuhan…
Anak-anak itu tertawa. Beberapa teman sekelas pun senyum-senyum mendengarkannya.
Slamet berhasil mengambil tasnya, lalu berjalan menuju bangkunya sambil melindungi wajahnya dari lemparan kulit kacang. Wajahnya kesal. Beberapa teman sekelas memandangi kejadian itu, tapi yang lainnya cuek saja. Sudah biasa.
Tiba-tiba Bapak guru Bahasa Inggris memasuki kelas sambil membawa map berwarna biru dan beberapa buku. Anak-anak IPA 5 sontak menghambur ke bangku masing-masing. Guru langsung berjalan ke meja guru. Sambil berjalan. Ia mengucapkan sapaan.

Guru Bahasa Inggris
Good afternoon, students.

Anak IPA 5
Good afternoon,Sir.
Pelajaran dimulai. Guru Bahasa Inggris menulis di papan tentang Future Continous Tense. Seluruh siswa mencatat, kecuali Yogi dan teman-teman genknya saling lempar kertas sambil tertawa-tawa kecil di belakang.
Guru menoleh ke belakang. Yogi dan teman-teman genknya senyum-senyum aneh menahan tawa. Guru memicingkan mata tanda kesal. Kemudian kembali menulis di papan.

Guru
Kalau kalian tidak mencatat, ulangan minggu depan kalian tidak akan bisa jawab.
Yogi dan Wira memperebutkan lakban. Sementara itu, teman-teman genk lainnya masih saling melempari kertas sambil tertawa-tawa kecil. Siswa lainnya tetap mencatat materi di papan tulis.
Yogi
Mai abe! Cang ngae!

Wira
Araah.. aku ja dah!
Guru merasa terganggu kemudian menoleh ke belakang lagi. Guru melihat Yogi dan Wira memperebutkan lakban. Teman-teman genk lainnya langsung diam dan pura-pura mencatat. Siswa lain memperhatikan guru.

Yogi
Ci jek bengkung orahin! Cang maan maluan ne!

Wira
Beh, pinjem je bentar.. Cang ngidih dik!
Guru menoleh sambil menggelengkan kepala. Kesal memperingatkan, Guru kembali menulis di papan.

Guru
Kalian memang tidak pernah bisa diberi tahu!
Dina dan teman sebangkunya menoleh ke belakang, memperhatikan kenakalan Yogi dan teman-temannya.

Dina
Ya ampun, mereka kayaknya nggak punya niat belajar, ya?

Teman sebangku Dina
Iya kali…
Mereka menoleh ke depan lagi.

Teman sebangku Dina
Mendingan mereka di luar aja…
Dina menganggukan kepala.
Teman sebangku Dina
Daripada di sini, cuma ganggu yang lagi belajar aja…
Cut To


Surabaya, 15 Desember 2011

Kamis, 12 Februari 2009

warisan Pulau Serangan

Dahulu kala, sekelompok pelaut bersuku Bugis terdampar di sebuah pulau kecil nan mempesona. Ada banyak versi tentang kelanjutan kisahnya. Namun di akhir cerita, sebuah Kampung Bugis pun menjadi bagian dari pulau menawan itu, Pulau Serangan.

Bagai pelangi, Pulau Serangan yang berpenduduk sekitar 3.500 orang dalam 815 KK ini tak hanya memiliki satu warna. Warna adat dan keyakinan masyarakat di Pulau Serangan bukan hanya adat dan keyakinan mayoritas masyarakat Bali. Kampung Bugis, yang masyarakatnya beragama Islam, hidup berdampingan dalam satu daratan dengan masyarakat Hindu Serangan. Walaupun pemukiman mereka seakan terpisah.
Serangan, pulau kecil yang terletak 500 meter di selatan Kota Denpasar ini menjadi naungan hidup masyarakat dengan dua keyakinan berbeda. Sedikit kisahnya, dahulu kala Pulau Serangan yang kini luasnya mencapai 480 hektar merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Badung. Berawalnya sejarah Kampung Bugis ketika sekelompok pelaut Bugis terdampar di pulau kecil ini pada abad XVII. Kemudian, atas jasa pelaut Bugis yang membantu Kerajaan Badung dalam memerangi Kerajaan Mengwi, sepetak daratan Serangan menjadi hadiah untuk mereka.
Hingga saat ini, Kampung Bugis yang luasnya sekitar dua hektar itu masih abadi ditinggali keturunan sang pelaut Bugis tersebut. Adapun cerita lain yang konon menjadi awal sejarah dari Kampung Bugis di Pulau Serangan. Muhammad Muhadi, Kepala Lingkungan Kampung Bugis pernah menceritakan bahwa menetapnya pelaut-pelaut Bugis yang terdampar itu berawal dari air yang mereka minum. Dalam pelayaran yang sangat melelahkan dari Makassar, para pelaut itu singgah di Serangan untuk mencari air minum. Setelah meneguk air segar itu, mereka terkena pengaruh sira angen — merasa sayang atau kangen dengan Serangan. Sehingga, tak sedikit dari pelaut Bugis itu yang  memutuskan menetap di sana.
Kampung Bugis, dengan masyarakatnya yang berjumlah sekitar 360-an jiwa masih utuh beserta kepingan-kepingan kenangan dari nenek moyang mereka. Beberapa diantaranya seperti masjid kuno bernama Assyuhada dan sebuah Kuburan Tuan Guru. Bermacam-macam pekerjaan yang mereka lakukan untuk menyambung hidup. Mayoritas mencari nafkah dengan melaut. Belakangan ini, cukup banyak yang memilih industri pariwisata atau mengadu nasib di luar Pulau Serangan. “Sebelum ada jalan di Serangan, semuanya jadi nelayan. Sekarang kebanyakan anak-anak bekerja ke luar Serangan,” Muhadi menceritakan.
Sedangkan wilayah tinggal masyarakat Hindu Serangan terletak tidak jauh dari perkampungan masyarakat Bugis. Wilayah pemukiman di antara kedua suku ini dipisahkan oleh parit yang panjang. Perumahan mereka berbaris rapi menghadap satu jalan setapak yang melintang. Tentunya, masih terletak pada satu daratan Pulau Serangan.
Bercerita tentang hubungan dua adat ini, mereka tetap rukun tanpa konflik. Seakan tak ada yang perlu diperbincangkan lagi akan adanya perbedaan suku dan adat di antara keduanya. “Walaupun sekarang ini ada banyak suku, kita masih tetap saling bantu,” Muhadi menuturkan. “ Kalau ada hari raya, mereka (orang Bugis - Red) biasanya bawa jotan ke sini. Begitu juga kita (orang Hindu Serangan - Red),” Nyoman Gita, seorang masyarakat Hindu Serangan berpendapat senada.
Meskipun kedua suku tinggal di atas daratan pulau yang sama, pemukiman yang mereka tempati seakan terkotak-kotak dan terpisah. Menurut I Wayan Karma, Kasi Tramtib Kelurahan Serangan, penyebabnya sederhana saja: tanah Kampung Bugis merupakan warisan dari nenek moyang mereka yang secara turun temurun ditempati oleh orang bugis. Hal itulah yang menyebabkan terbaginya wilayah antara masyarakat Hindu Serangan dan masyarakat Kampung Bugis seperti awal kisah adanya Kampung Bugis di Pulau Serangan. Walau terpisah begitu, bukan berarti antara masyarakat Kampung Bugis dengan masyarakat Hindu Serangan tidak saling berhubungan. Bahkan, rasa solidaritas mereka terlihat erat. “Kalau Galungan, warga Kampung Bugis ikut ngayah. Kalau piodalan juga mereka ikut membantu. Tidak mesti membuat banten, mereka membantu sesuai dengan bidang yang mereka bisa,” cerita Wayan Karma.
Mengutip dari hasil studi lapangan Lisa Woinarski pada tahun 2002, diceritakan bahwa sebelum adanya proyek BTID (Bali Turtle Island Development) pada tahun ’90-an, masyarakat hidup dengan aman dan tentram. Namun, seiring  dengan berjalannya proyek BTID, muncul konflik dalam masyarakat Serangan. Padahal dulu, adanya sedikit konflik dalam masyarakat Serangan cenderung karena pembelahan partai politik daripada pembelahan etnik antara orang Bugis dan Bali. Bahkan, masyarakat Bugis hidup rukun dengan masyarakat Hindu Serangan sampai dianggap bersaudara, begitu yang dijelaskan oleh Wayan Patut, masyarakat Serangan.

Tetapi lebih dari itu, Muhammad Muhadi, Wayan Karma, Nyoman Gita, dan beberapa masyarakat Hindu Serangan serta masyarakat Kampung Bugis lainnya menceritakan bahwa tali persaudaraan antara kedua suku itu masih tetap utuh sejak awal kedatangan pelaut Bugis empat abad yang lalu. Dan hal apapun yang mungkin dapat menggoreskan persaudaraan mereka, hidupnya dua suku yang berbeda di tanah Serangan telah mengukir dan mewariskan cerita perbedaan yang indah untuk anak cucu mereka.

Minggu, 27 Juli 2008


Tiap orang keluar dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara. - Pramoedya Ananta Toer