Desember.
Aku baru kembali dari
Gunung Arjuno. Semalaman kuhabiskan di ketinggian sekian. Tak kucatat, tapi
kuingat betul dinginnya pegunungan. Menyakitkan.
Namun begitu hangat ketika
pagi mekar.
***
Tapi ada soal lain yang
ingin kubincangkan, selain soal kembali ke Surabaya, soal kembali pada suhu
bermodus 26 derajat Cecius dalam beberapa minggu terakhir. Ini soal sistem, dan
pergumulan dengan idealismeku (yang) sendiri(an).
Aku seringkali tak sepaham
dengan suatu sistem. Termasuk sistem pendidikan di Indonesia. Tapi tak akan
kubahas banyak-banyak. Kata Andi Hakim Nasution, “Kalau Anda punya musuh besar
dan ingin ia tersiksa di dunia, doakanlah dia menjadi Menteri Pendidikan.”
Seperti begitu menyiksa, ya? Tuhan, kuatkanlah Menteri Pendidikan kami, Amin.
Meski seringkali tak
sepaham dengan sistem, aku tak pernah berontak. Aku diam. Beku di belakang. Dan
ini berulang dalam beberapa tahun belakangan. Masalahku, ini seringkali
mengganggu. Bagaimana rasanya kau tak bisa memuntahkan isi perutmu? Padahal kau
mual sekali, muak sekali.
Aku punya sejuta alasan
untuk diam. Karena pernah bicara dan tentu kalah. Karena (rasanya) tak akan ada
yang sepaham. Karena aku takut tersisih sendirian. Karena aku tak mau
memperpanjang persoalan. Karena aku tak mau buat perkara. Karena bla bla bla. Hingga karena aku pikir, barangkali pendapatku hanya berlaku untukku, bukan untuk yang lain. Maka kalau
aku bicara, aku egois. Apalagi jika berontak, maka aku dua kali lipat lebih
egois. Jadi, kalau tidak diam, aku hanya mundur dan hilang.
Sejak sering diam, aku tak
bisa lagi menemukan perumpaan untuk diriku sendiri. Aku, bertahun-tahun,
berdiri di atas sistem yang tak kuhendaki. Aku belum bisa jadi pemberani. Aku
bahkan tak bisa bercerita banyak di sini. Semoga Gendis nanti jadi pemberani,
ya! Amin.
Yakin anaknyaa namain Gendis ? :)
BalasHapusYakiiin dah Jal. Hahaha
Hapus